Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu)
di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan,
yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat
UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai
bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan
anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilihan
umum adalah proses substansial dalam penyegaran suatu pemerintahan. Andrew
Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya
suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi
yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan
umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar
akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.
Pemilihan
umum diikuti oleh partai-partai politik. Partai-partai politik mewakili
kepentingan spesifik warganegara. Kepentingan-kepentingan seperti nilai-nilai
agama, keadilan, kesejahteraan, nasionalisme, antikorupsi, dan sejenisnya kerap
dibawakan partai politik tatkala mereka berkampanye. Sebab itu, sistem
pemilihan umum yang baik adalah sistem yang mampu mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat masyarakat, agar terwakili
dalam proses pembuatan kebijakan negara di parlemen. Potret Indonesia
Sistem
pemilihan umum adalah merupakan salah
satu instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di
tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni :
1. adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan,
2. adanya partisipasi masyarakat,
3. adanya jaminan hak-hak sipil dan politik.
Untuk memenuhi
persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilihan umum, dengan sistem ini
kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat
dilihat.
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur
serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara
mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau
mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah
yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah
entitas yang sama.
Terdapat
bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri dalam
melaksanakan pemilihan umum diantaranya:
a. Sistem hak pilih
b. Sistem pembagian daerah pemilihan.
c. Sistem pemilihan
d. Sistem pencalonan.
Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang berbeda-beda dan
memiliki ciri khas masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada
dua prinsip pokok, yaitu:
a. Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat
dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah
sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam mengeluarkan satu suara di
tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
b. Sistem pemilihan Organis
Pada sistem ini, rakyat
dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka
ragam persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan inilah yang
diutamakan menjadi pengendali hak pilih.
Bangsa
Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan. Semua
pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi
berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum
tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya
usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini
pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1955). Pada
pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua
untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan
pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional. Sistem Pemilu
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan
khidmat, Tidak ada pembatasan partai
politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur
tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini
diikuti 27 partai dan satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu
tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar:
NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah
terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah
pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk
mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik
menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan
pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah
turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa
merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang
ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum
diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga
bangsa Indonesia.
Pendapat
yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan
jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai
kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi
dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan
menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam
melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.
Karena
gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum,
Presiden Soeharto melakukan beberapa
tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan
adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai politik,
mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya
(Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu
tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara
terbanyak selalu diraih Golkar.
4 . Zaman
Reformasi (1998- Sekarang)
Pada
masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya
ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki
hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal
reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak
mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era
orba.
Pada
tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini
disebabkan telah diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU
no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak
mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2%
dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh
mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan
mendirikan parpol baru.
II.
Pentingnya Pemilu
Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari
demokrasi serta wujud paling konkret keiktsertaan(partisipasi) rakyat dalam
penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu
hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem
& kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan
pemerintahan demokratis.
Pemilu sangatlah penting bagi sebuah negara, dikarenakan:
·
Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
·
Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk
memperoleh legitimasi.
·
Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi
dalam proses politik.
·
Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin
secara konstitusional.
III.
Asas-asas PEMILU
1. Langsung
Langsung, berarti masyarakat sebagai
pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai
dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.
2. Umum
Umum, berarti
pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg memenuhi persyaratan,
tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan,
pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial
yang lain.
3. Bebas
Bebas, berarti
seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan
umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya
tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
4. Rahasia
Rahasia, berarti
dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. Pemilih
memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang
lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
5. Jujur
Jujur, berarti
semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Adil
Adil, berarti
dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
-
Ada beberapa
Sistem Pemilu yakni:
a. Sistem Pemilu
Proposional.
b. Sistem Pemilu
Distrik.
c. Sistem Pemilu
Campuran.
A.
SISTEM PEMILU PROPORSIONAL KELEBIHAN DAN KEKURANGANNYA.
Sistem Pemilu
Proporsional merupakan system pemilihan yang memperhatikan proporsi atau
perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi disuatu daerah
pemilihan. Dengan system ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang
memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi lebih banyak disuatu daerah
pemilihan, begitupun sebaliknya. Sistem ini juga mengatur tentang proporsi
antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian
dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh suatu parta politik tersebut. Dasar
pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara
pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif.
-
VARIAN SISTEM PEMILU PROPORSIONAL
1. Sistem
Proporsional TerbukaSejak Pemilu 1955 hingga 1999, pemilu di Indonesia digelar
di bawah sistem proporsional tertutup (closed lists). Dengan sistem ini,
pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Suara itu jatuh untuk partai, yang
kemudian didistribusikan ke daftar calon anggota legislatif (caleg) yang
disusun pimpinan partai yang secara implisit berada di balik tanda gambar yang
dipilih pemilih.
2. Sistem
Proporsional Tertutup
Pada Pemilu 2004 lalu, terjadi perubahan.
Pemilih tidak lagi hanya memilih tanda gambar partai, tapi juga sudah boleh
memilih langsung nama caleg. Daftar caleg sudah eksplisit dimuat di surat
suara, agar bisa dicontreng. Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilu
Legislatif, pada Pasal 6 Ayat (1) menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional
dengan daftar calon terbuka.
-
KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN SISTEM PEMILU PROPORSIONAL
Kelebihannya,
antara lain :
- Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan “ketidakadilan” seperti sistem Mayoritas/Pluralitas yang “membuang” suara kalah.
- Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide” untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
- Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold).
- Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
- Membuat partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.”
- Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
7. Memungkinkan
partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.
-
Kekurangan
dari sistem Proporsional adalah sebagai berikut:
- Menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren.
- Mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dibuat.
- Mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan)
- Sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan “suara sisa”).
B.
SISTEM PEMILU
DISTRIK
Dalam
sistem Distrik, jumlah penduduk di suatu wilayah akan sangat berpengaruh
terhadap wakilnya. Karena di sistem Distrik, daerah pemilihannya berbasis pada
jumlah penduduk. Lalu dalam sistem ini pula daerah pemilihannya cenderung kecil
karena hanya berupa distrik. Sehingga, jumlah daerah pemilihan akan sangat
banyak, terutama jika diterapkan di negara yang wilayahnya sangat luas. Lalu,
seorang caleg yang akan mewakili daerahnya haruslah berasal dan berdomisili di
daerah pemilihan tersebut. Jika ada caleg yang berasal dari luar daerah akan
cukup sulit untuk mendapatkan suara, karena masyarakat kurang mengenalnya.
Jadi, seorang caleg haruslah memiliki kualitas dan tingkat kepopuleran yang cukup
tinggi. Dalam sistem ini cenderung mengarah pada sistem disentralisasi karena
wakilnya sangat loyal kepada partai maupun pemilihnya.
-
VARIAN SISTEM PEMILU DISTRIK
1. First Past The Post
Sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon
legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akibat daerah pemilihan yang relatif
kecil (distrik). Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu
distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok,
Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili,
membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya. Jika sang calon
legislatif menang pemilu, maka warga kota mudah melihat kinerjanya.
2. Block Vote
Sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan
lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang
harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari
afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau
sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri. Block Vote biasa digunakan di
negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004, Kepulauan
Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives,
Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini
juga pernah digunakan di Yordania (1989) Mongolia (1992), dan Filipina serta
Thailand hingga tahun 1997.
3. Two Round System
Two Round System (TRS) adalah sistem mayoritas/pluralitas di mana
proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang
memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS
menggunakan sistem yang sama dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau seperti
BV/PBV (satu distrik banyak wakil). Dalam TRS, calon atau partai yang menerima
proporsi suara tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2.
Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas.
Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum
adalah, mereka yang ikut serta adalah calon-calon dengan suara terbanyak
pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan
menghasilkan suara mayoritas bulat (50%+1). Sistem lainnya diterapkan di
Perancis, dimana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut adalah yang
memperoleh lebih dari 12,5% suara di putaran pertama. Siapapun yang memenangkan
suara terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun tidak 50% + 1
(mayoritas). Negara-negara yang menggunakan Two Round System adalah Perancis,
Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti,
Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
4. Alternative Vote Alternate Vote (AV)
Sama dengan First Past The
Post (FPTP) sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya,
dalam Alternate Vote pemilih melakukan ranking terhadap calon-calon yang ada di
surat suara (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi
pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Alternate Vote
sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara
kandidat yang ada, ketimbang Cuma memilih 1 saja seperti di FPTP. Alternate
Vote juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1
calon yang memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu
distrik. Dalam Alternate Vote, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang
terendah, tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk
pilihan rangking 2-nya, yang jika kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap
surat suara kemudian diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya rankin
tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1
calon yang punya suara mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. Alternate
Vote, sebab itu, merupakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu Alternate
Vote digunakan di Fiji dan Papua Nugini.
5. Party Block Vote.
Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik
partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif
dalam surat suara. Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara
terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di
surat suara otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti,
dan Singapura.
-
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PEMILU
DISTRIK.
1. First Past The Post
Kelebihannya
antara lain :
-
Dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai
-
Cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai
-
Mendorong munculnya oposisi
-
Memungkinkan hadirnya kandidat independen
-
Sistem ini cukup sederhana serta mudah dimengeri pemilih.
Kelemahan :
-
Banyak suara terbuang
-
Menghalangi perkembangan multipartai yang plural
-
Mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.
2. Block Vote
Kelebihan sistem
ini :
-
Memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan
pilihannya
-
Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis
koherensi anggota dan organisasi yang kuat.
Kekurangannya
adalah,:
-
Sistem ini bisa menunjukkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya,
saat pemilih memberikan semua suara kepada semua calon dari satu partai yang
sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan selain
partai tersebut menjadi terabaikan.
-
Selain itu, oleh sebab setiap partai boleh mencalonkan lebih
dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon
untuk memperoleh dukungan pemilih.
3. Party Block Vote.
Kelebihannya
adalah :
·
Mudah digunakan
·
Menghendaki partai yang kuat
·
Memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan
kalangan minoritas.
Kelemahan dari
Party Block Vote adalah:
·
Banyak suara yang terbuang
·
Kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama
sekali tidak punyak wakil di parlemen.
4. Alternative Vote.
Kelebihannya
adalah :
·
Memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi,
hingga kepentingan yang berbeda tapi berhubungan dapat dikombinasi guna
memperoleh perwakilan.
·
Alternative Vote juga memungkinkan pendukung tiap calon yang
tipis harapan menangnya untuk tetap punya pengaruh lewat ranking ke-2 dan
seterusnya. Sebab itu, Alternative Vote menghendaki tiap kandidat harus bisa
menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar partainya
adalahpemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan
seterusnya.
Kelemahan AV adalah,:
·
Menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang tinggi
di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para
calon.
5. Two Round System.
Kelebihan:
·
Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang
dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya
·
Memungkinkan kepentingan yang beragam berkumpul di kandidat
yang masuk ke putaran kedua pemilu.
Kekurangannya adalah :
·
Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras
jika ada putaran kedua,
·
Membuat dana pemilu membengkak
·
TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai
politik.
C. SISTEM PEMILU CAMPURAN.
Menggabungkan dua sistem sekaligus antara sistem distrik dan sistem
proporsional. Setengah dari anggota parlemen di pilih melalui sistem distrik
dan setengah lainnya lagi di pilih melalui proporsional. Ada keterwakilan
sekaligus ada kesatuan geografis.
-
VARIAN SISTEM
PEMILU CAMPURAN
1. Mixed Member
Proportional
Di bawah sistem
Mixed Member Proportional, kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap
hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jika satu partai memenangkan
10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah,
lalu partai itu akan dianugrahkan kursi yang cukup dari daftar Proporsional
guna membuat partai tersebut punya 10% kursi di legislatif. Pemilih mungkin
punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru.
Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai
diturunkan dari total calon tiap distrik. Mixed Member Proportional digunakan
di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru,
dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP.
Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat kursi
di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di
distrik-distrik dengan satu wakil. Meskipun Mixed Member Proportional didesain
untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi
ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi
yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
2. Paralel
Sistem Paralel
secara berbarengan memakai sistem Proporsional dan Mayoritas/Puluralitas,
tetapi tidak seperti MMP, komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa
suara bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada sistem Paralel,
seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara
yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat
suara terpisah, satu untuk kursi Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk kursi
Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand). Sistem paralel kini dipakai 21
negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia,
Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu
wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan,
Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System
untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN SISTEM PEMILU CAMPURAN
Kelebihannya adalah :
- Dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memberikan hasil antara Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu keuntungannya adalah, tatkala cukup kursi Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem Proporsional atas setiap suara yang diperoleh.
- Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang menciptakan fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional.
Kelemahannya adalah:
- Sebagaimana terjadi dengan Mixed Member Proportional, akan menciptakan dua kategori wakil rakyat.
- Sistem ini tidak menjamin keproporsionalan
- Sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah suara secara substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih bingung sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya.
-
CARA PERHITUNGAN SISTEM
PEMILU PROPORSIONAL
Hasil ditentukan melalui
serangkaian perhitungan. Pada perhitungan pertama, total jumlah suara rangking
pertama tiap kandidat didahulukan. Setiap calon yang punya suara rangking
pertama lebih besar atau sama dengan kuota otomatis terpilih. Setelah itu
perhitungan dilanjutkan dengan, suara lebih kandidat terpilih (yang suaranya di
atas kuota) didistribusikan kepada pilihan rangking kedua di surat suara. Demi
keadilan, seluruh surat suara masing-masing calon didistribusikan. Contohya,
jika seorang calon punya 100 suara, dan kelebihannya 5 suara, lalu setiap
kertas suara diredistribusikan senilai 1/20 kali dari 1 suara. Setelah
perhitungan selesai, jika tidak ada calon yang punya kelebihan suara lebih dari
kuota, calon dengan total suara terandah tersingkir. Suara mereka
diredistribusika ke perhitungan selanjutnya dari para calon yang masih bersaing
untuk rangking kedua dan seterusnya. Perhitungan diteruskan hingga seluruh
kursi di distrik ditempati pemenang yang menerima kuota atau jumlah calon yang
tersisa dalam proses perhitungan tinggal satu atau lebih dari jumlah kursi yang
nantinya diduduki.
-
CARA PERHITUNGAN SISTEM
PEMILU DISTRIK
Contoh
hipotesis dalam Buku “ DASAR
– DASAR ILMU POLITIK “ Prof. Miriam Budiarjo halaman 463. Suatu
wilayah dengan 100.000 penduduk, di mana 3 partai bersaing memperebutkan 10
kursi di parlemen. Wilayah itu terdiri atas 10 distrik. Seandainya dalam
wilayah dipakai system distrik, system distrik berhak atas 1 kursi dari umlah
total 10 kursi yang diperebutkan dengan jumlah total 10 kursi. Misalnya, dalam
1 distrik ada 3 calon. Calon A ( beserta partainya ) memperoleh 60% suara,
calon B memperoleh 30% suara, dan calon C mendapat 10% suara. Pemenang calon A,
memperoleh 1 kursi ( the
winner takes all ),sedangkan 30% jumlah suara dari calon B dan 10 %
dari calon C dianggap hilang (wasted).
0 Response to "Pemilihan Umum di Indonesia"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !