LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
Badan legislatif di Indonesia atau representatives bodies adalah
struktur politik yang mewakili rakyat Indonesia dalam menyusun undang-undang
serta melakukan pengawasan atas implementasi undang-undang oleh badan eksekutif
di mana para anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum. Struktur-struktur
politik yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I dan Tingkat II, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Selain badan legislatif, di
Indonesia juga terdapat dua badan trias politika lainnya yaitu badan eksekutif
dan badan yudikatif. Melalui UUD 1945, dapat diketahui bahwa struktur
legislatif yang ada di Indonesia terdiri atas MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD I, DPRD II), dan DPD (Dewan
Perwakilan Daerah).
A.
Berapa Kamarkah Legislatif Indonesia?
Badan-badan legislatif Indonesia
memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda. Sebab itu, Jimly
Asshiddiqie menyebut Indonesia setelah Amandemen ke-4 UUD 1945 menerapkan
sistem Trikameral (sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan rakyat karena
terdiri atas tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Argumentasi tiga
kamar ini didasarkan bahwa masing-masing dari ketiga badan memiliki fungsi dan
wewenang yang spesifik serta berbeda, kendati sesungguhnya kuasa dominan dalam
membentuk undang-undang hanyalah di DPR.
Sebagai pembanding, dapat dilihat sistem ketatanegaraan Amerika
Serikat yang bikameral (dua kamar). Di negara tersebut kekuasaan legislatif ada
di tangan Kongres yang terdiri atas dua kamar yaitu The House of
Representatives dan Senates. Kongres terdiri atas The House of Representatives
dan Senates. Anggota The House of Representatives terdiri atas wakil-wakil
partai politik. Anggota Senates terdiri atas wakil-wakil negara bagian. Kongres
tidak berdiri sebagai badan tersendiri oleh sebab ia hanya ada berkat gabungan
antara anggota The House of Representatives dan Senates. Sementara di
Indonesia, ada tiga lembaga perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR
(termasuk DPRD I dan II di tingkat daerah), dan DPD.
Tugas dan wewenang MPR digariskan oleh Pasal 2 UUD 1945 yang meliputi
tiga hal yaitu:
(1) Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar;
(2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden; dan
(3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan
menurut Undang-undang Dasar.
Anggota MPR tidak
dipilih secara per se karena anggota MPR adalah kolektivitas dari seluruh
anggota DPR-RI ditambah seluruh anggota DPD. Hanya anggota DPR-RI dan DPD saja
yang dipilih rakyat secara langsung. MPR merupakan struktur legislatif yang
cuma berkedudukan di tingkat pusat. MPR bersidang sedikitnya 5 (lima) tahun
sekali dan setiap keputusannya diambil dengan suara terbanyak.
MPR Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras dua kamar tersebut (DPR
dan DPD). Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan
tersendiri yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut:
Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip
keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada
lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip
keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip
keterwakilan daerah (regional representation).
MPR tidak lagi berfungsi selaku supreme body yang punya kewenangan
tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi:
(1) menetapkan UUD dan mengubah UUD;
(2) menetapkan GBHN;
(3) memilih Presiden dan Wakil Presiden;
(4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden;
(5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden.
Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya: (1) menetapkan UUD
dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3)
memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden
dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil
Presiden.
Amandemen UUD 1945
menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan
MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut separation of power (pemisahan
kekuasaan). Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil
Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada
rakyat.
Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya,
menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD. Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden,
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari MPR bersidang untuk memilih wakil
presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan Presiden.
Selain itu, Pasal 8 ayat (3) menyebut, bahwa dalam hal terjadinya
kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka
selambat-lambatnya dalam 30 (tiga puluh) hari MPR bersidang untuk memilih
presiden dan wakil presiden dari 2 (dua) pasangan calon presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu
sebelumnya. Juga, Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan
mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37
UUD 1945.Dengan argumentasi-argumentasi ini, dapat dipahami bahwa MPR adalah
lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia
dikenal menerapkan sistem perwakilan tiga kamar (trikameralisme).
Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat
muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu
berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan
yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sesungguhnya
hanya punya tiga fungsi, yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik
Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan terpenuhinya
mekanisme lain yang tidak mudah di dalam UUD 1945).
Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin
dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar
seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih
Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung.
Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum
kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju
pelantikan tersebut.
B.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat
itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai
konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR.
Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA
dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional.
Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat
yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas
pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota
PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah: Mr. Kasman Singodimedjo (ketua); Mr.
Sutardjo Kartohadikusuma (wakil); Mr. J. Latuharhary (wakil); dan Adam Malik
(wakil). KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil
Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut
adalah diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan
Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.
Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda:
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) dan UUD Sementara 1950
(UUDs 1950). Di dalam kedua versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR
tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama
tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih
anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar).
Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD
permanen. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang
berujung pada ditemuinya deadlock. Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno)
segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah:
(1) Pembubaran Konstituante;
(2) Berlakunya kembali UUD 1945; dan
(3) Pembatalan UUDS 1950 serta pembentukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sementara (MPRs) serta Dewan Pertimbangan Agung sementara (DPAs). Upaya
Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur
politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dibentuk berdasarkan
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah: MPRS terdiri atas
anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan; Jumlah
anggota MPR ditetapkan Presiden; Yang dimaksud daerah dan golongan adalah
Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional);
Anggota tambahan MPRs diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut
agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRs yang dikuasakan oleh Presiden; dan MPRs
punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRs yang dibentuk kemudian, didasarkan pada
Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri
dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Susunannya sebagai berikut: Chairul Saleh (ketua); Mr. Ali Sastroamidjojo
(wakil); K.H. Idham Chalid (wakil); Dipa Nusantara Aidit (wakil); dan Kolonel
Wilujo Puspojudo (wakil).
Dalam kelanjutannya, MPRs ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang
pertama diadakan 10 Nopember–7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan
berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor I/MPRs/1960 tentang Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2)
Ketetapan MPRs Nomor II/MPRs/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sidang kedua yang diadakan MPRs berlangsung tanggal 15–22 Mei 1963.
Dalam sidang kedua ini dicapat dua ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor
III/MPRs/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno
menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor
IV/MPRs/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan
Negara dan Haluan Pembangunan.
Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11–16 April
1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs
Nomor V/MPRs/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih
dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang
Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat
Indonesia; (2) Ketetapan MPRs Nomor VI/MPRs/1965 tentang Banting Stir untuk
Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan
MPRs Nomor VII/MPRs/1965 tentang Gesuri, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), The
Fifth Freedom is Our Weapon dan The Era of Confrontation sebagai
Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4)
Ketetapan MPRs Nomor VIII/MPRs/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk
Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak
lagi menjabat presiden, terbentuklah susunan pimpinan MPRs sebagai berikut: Dr.
Abdul Haris Nasution (ketua); Osa Maliki (wakil); H.M. Subhan Z.E. (wakil); M.
Siregar (wakil); dan Mashudi (wakil). Struktur baru MPRs ini mengadakan Sidang
Umum keempat MPRs di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni – 5 Juli 1966.
Sidang umum ini menghasilkan banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah dua
puluh empat. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRs
untuk mendengar Pidato bertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang
dikenal sebagai Nawaksara.
MPRs tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan
Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan
suratnya berjudul Pelengkap Nawaksara Namun, tetap saja ini tidak memuaskan
MPRs. MPRs sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi
kewajiban konstitusional.
Di sisi lain, DPR-gr mengusulkan pada MPRs untuk mengadakan kembali
Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen
Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRs No.
IX/MPRs/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan,
pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR
tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.
Pada tahun 1971, Indonesia
mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan
pimpinan MPR (tidak pakai kata sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini
didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi
lima fraksi berikut:
(1) Fraksi ABRI
230 orang;
(2) Fraksi Karya
Pembangunan 392 orang;
(3) Fraksi
Partai Demokrasi Indonesia 42 orang;
(4) Fraksi
Persatuan Pembangunan 126 orang; dan
(5) Fraksi Utusan Daerah 130 orang. Pola MPR sejak
tahun 1971 cenderung konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi
MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat
Suharto sebagai presiden, menerima pidato pertanggungjawaban Suharto, dan
menetapkan GBHN yang draft-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini
sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.
Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang
terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang
dihasilkan antar periode Pemilu. Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang
ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada
adalah: (1) Fraksi Partai Bulan Bintang berkekuatan 14 orang; (2) Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan berkekuatan 305 orang; (3) Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa berkekuatan 5 orang; (4) Fraksi Partai Daulah Ummat
berkekuatan 8 orang; (5) Fraksi Partai Golongan Karya berkekuatan 297 orang;
(6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa berkekuatan 109 orang; (7) Fraksi PPP
berkekkuatan 123 orang; (8) Fraksi Reformasi berkekuatan 46 orang; (9) Fraksi
TNI/Polri berkekuatan 96 orang; dan (10) nonFraksi 1 orang yaitu Dr. Drs.
Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.
Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri
atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut
adalah: (1) Fraksi Partai Golongan Karya, di mana PKPB dan PBR juga bergabung
ke sini; (2) Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan, di mana juga PDS bergabung
ke sini; (3) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; (4) Fraksi Partai Demokrat,
di mana terdiri atas gabungan 5 parpol dengan 20 kursi; (5) Fraksi Partai
Amanat Nasional; (6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; (7) Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera; (8) Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi, di mana
merupakan gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI; dan (9)
Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132 orang.
Pasca Pemilu 2009, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri
atas 9 fraksi dan 1 kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut
adalah: (1) Fraksi Demokrat dengan kekuatan 148 orang; (2) Fraksi Golongan
Karya dengan kekuatan 106 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dengan kekuatan 94 orang; (4) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
dengan kekuatan 57 orang; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional dengan kekuatan 46
orang; (6) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan kekuatan 38 orang; (7)
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dengan kekuatan 28 orang; (8) Fraksi Partai
Gerakan Indonesia Raya dengan kekuatan 26 orang; (9) Fraksi Partai Hati Nurani
Rakyat dengan kekuatan 17 orang; dan (10) Fraksi Kelompok Dewan Perwakilan
Daerah dengan kekuatan 132 orang.
C.
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat
(seterusnya disingkat DPR) adalah suatu struktur legislatif yang punya
kewenangan membentuk undang-undang. Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR
harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Fungsi-fungsi
yang melekat pada DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi legislasi; dan
(3) fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, setiap anggota
DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak
mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.
Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum dan setiap
calonnya berasal dari partai-partai politik. Secara substansial, struktur dan
fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya saja, lingkup
kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di tingkat
Kabupaten atau Kota.
DPR merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan
politik (political representative) karena --- menurut Jimly Asshiddiqie –--
fungsi legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil
partai politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik.
Melalui lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya
dalam tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu
bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki.
Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di
setiap lini: (1) Dalam lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat
melakukan mekanisme pengaduan harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama
pemerintah bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3)
Dalam lini output DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan
negara yang harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah
merinci aneka fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks
pemikiran Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input
(agregasi kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu legislasi.
Dalam kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD.
Harus ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan
legislatif tetap ada di tangan DPR.
Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi
atau legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang
oleh DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut:
I. DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD;
II. Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang
yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi
Undang-undang;
III. Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang
wajib diundangkan sebagaimana mestinya;
IV. Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR;
V. Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan
berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak
inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan
DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
VI. Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun
menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima
atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
VII. Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan
disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU
tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum
karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya.
Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak
menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan
VIII. Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum
mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan
cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari
sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna
DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama
dengan Presiden. Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya
pemberlakuan suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan
Presiden.
Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak.
Hak-hak tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku
Perseorangan. Hak DPR selaku Lembaga meliputi: (1) hak interpelasi; (2) hak
angket; (3) hak menyatakan pendapat; (4) hak mengajukan pertanyaan; (5) hak
menyampaikan usul dan pendapat; dan (6) hak imunitas.
Hak Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai
lembaga DPR berhak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk
menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai
lembaga, untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai: kebijakan
pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau
situasi dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket; dan dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden atau Wapres.
Selain itu, Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan
RUU; (2) Hak mengajukan pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4)
Hak memilih dan dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak
protokoler; dan, (8) Hak keuangan dan administratif. Keterangannya adalah
sebagai berikut:
·
Hak mengajukan rancangan
undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan Rancangan
Undang-undang.
·
Hak mengajukan pertanyaan
adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang
disusun baik secara lisan/tulisan, singkat, jelas, dan disampaikan kepada
pimpinan DPR.
·
Hak menyampaikan usul dan
pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat
mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan
dalam rapat.
·
Hak memilih dan dipilih adalah
hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabata tertentu pada alat kelengkapan
DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
·
Hak membela diri adalah hak
setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan atau memberi keterangan
kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
·
Hak imunitas adalah hak setiap
anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis
dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib
DPR dan Kode Etik anggota dewan.
·
Hak protokoler adalah hak
setiap anggota DPR bersama Pimpinan DPR sesuai ketentuan perundang-undangan.
·
Hak keuangan dan administratif
adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan,
dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat. Sebagai
ilustrasi hak ini, menurut Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPRRI/XII/2010
tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, penerimaan keuangan anggota DPR
terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) Gaji Pokok dan Tunjangan, dan (2)
Penerimaan Lain-lain. Misalnya, bagi anggota DPR yang hanya merangkap menjadi
anggota Komisi, maka jumlah gaji pokok dan tunjangan bersih sebulannya adalah
Rp. 16.207.200. Penghasilan ini ditambah Penerimaan Lain-lain yang total
sebulannya mencapai Rp. 35.360.000. Sehingga take home pay seorang anggota DPR
yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi adalah Rp. 16.207.200 + Rp.
35.360.000 = Rp. 51.567.200 (telah dipotong pajak). Penghasilan bulanan yang
cukup besar ini merupakan bentuk penghargaan rakyat Indonesia kepada para wakil
rakyat karena telah bersusah payah memikirkan dan mengurus segala kepentingan
rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Selain punya
hak, anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama masa
jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
(1) Mengamalkan Pancasila;
(2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;
(3) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
(4) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
negara kesatuan Republik Indonesia;
(5) Memperhatikan upaya
peningkatan kesejahteraan rakyat;
(6) Menyerap, menghimpun,
menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
(7) Mendahulukan kepentingan
negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
(8) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
(9) Menaati kode etik dan
Peraturan Tata Tertib DPR; dan
(10) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
yang terkait.
Di DPR, para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi
adalah pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil
Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka
optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan
kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi
dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik
hasil Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan
Fraksi lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota salah satu Fraksi.
Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing.
Tugas utama fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam
melaksanakan tugas dan wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga
bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja
para anggota dalam melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap
kegiatan DPR. DPR juga menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran
pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat
Kelengkapan DPR yang terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3)
Komisi; (4) Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah
Tangga; (7) Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9)
Panitia Khusus.
Pimpinan DPR. Pimpinan DPR merupakan kesatuan pimpinan yang sifatnya
kolektif. Pimpinan DPR terdiri atas satu Ketua dan tiga Wakil Ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota dewan dalam Rapat Paripurna. Calon Ketua dan
Wakil Ketua diusulkan oleh setiap fraksi kepada Pimpinan Sementara secara
tertulis berupa satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas satu orang calon
Ketua dan tiga orang calon Wakil Ketua dari Fraksi yang berbeda untuk
ditetapkan sebagai calon Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna.
Setelah terpilih, maka Pimpinan DPR bertugas antara lain:
(1) Memimpin sidang-sidang
dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
(2) Menyusun rencana kerja
dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua;
(3) Menjadi juru bicara DPR;
(4) Melaksanakan dan
memasyarakatkan keputusan DPR;
(5) Melaksanakan konsultasi
dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya sesuai dengan keputusan
DPR;
(6) Mewakili DPR dan/atau
alat kelengkapan DPR di pengadilan;
(7) Melaksanakan keputusan
DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; serta menetapkan arah, kebijakan umum
dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan
(8) Mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya dalam Rapat Paripurna DPR.
Badan Musyawarah. Badan
Musyawarah (selanjutnya disingkat Bamus) merupakan alat kelengkapan yang
bersifat tetap. Keanggotaan Bamus ditetapkan DPR lewat Rapat Paripurna pada
permulaan masa keanggotaan DPR. Jumlah Anggota Bamus sebanyak-banyaknya
sepersepuluh dari jumlah Anggota yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna
berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Tugas Bamus antara
lain: menetapkan acara DPR untuk 1 Tahun Sidang, 1 Masa Persidangan, atau
sebagian dari suatu Masa Sidang, dan perkiraan waktu penyelesaian suatu
masalah, serta jangka waktu penyelesaian Rancangan Undang-Undang, dengan tidak
mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya; meminta dan/atau memberikan
kesempatan alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan
keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap
alat kelengkapan; dan menentukan penanganan suatu Rancangan undang-Undang atau
pelaksanaaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR.
Komisi. Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan DPR dalam Rapat
paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Penetapan ini dilakukan pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan
Tahun Sidang.
Setiap Anggota – kecuali
Pimpinan MPR dan DPR – harus menjadi anggota salah satu komisi. Jumlah Komisi,
Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga
kementerian negara maupun lembaga non-kementerian, dan sekretariat lembaga
negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.
Tugas Komisi
dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan,
pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang
lingkup tugasnya. Tugas Komisi di bidang anggaran adalah: (1) mengadakan
Pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan
Pemerintah; dan (2) mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang
lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah.
Tugas komisi di
bidang pengawasan antara lain:
(1) melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan
pelaksanaannya;
(2) membahas dan
menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang terkait dengan
ruang lingkup tugasnya;
(3) melakukan
pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan (4) membahas dan menindklanjuti
usulan DPD.
Komisi dalam
melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) mengadakan
Rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; dan (2)
mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili
intansinya, mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, mengadakan kunjungan kerja
dalam masa reses.
Badan
Legislasi. Susunan keanggotaan Badan Legislasi
(selanjutnya disebut Baleg) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna
berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.
Tugas Baleg antara lain:
(1) merencanakan
dan menyusun program Legislasi Nasional yang memuat daftar urutan Rancangan
Undang-Undang untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap Tahun Anggaran;
(2) menyiapkan
Rancangan Undang-Undang usul inisiatif DPR berdasarkan program prioritas yang
telah ditetapkan;
(3) melakukan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang diajukan Anggota, Komisi, atau Gabungan Komisi sebelum Rancangan
Undang-Undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan Dewan, dan
(4) membuat
inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan
DPR untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Badan Legislasi pada masa
keanggotaan berikutnya.
Badan Legislasi dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan pihak
Pemerintah, DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) atau pihak lain
yang dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui
Pimpinan DPR.
Panitia Anggaran. Susunan keanggotaan Panitia Anggaran ditetapkan oleh DPR dalam Rapat
Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.
Anggota Panitia Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi
dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan dari Fraksi.
Panitia Anggaran bertugas
melaksanakan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Panitia
Anggaran dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal berikut: (1)
mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; (2)
mengadakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas
permintaan Panitia Anggaran maupun atas permintaan pihak lain; dan (3)
mengadakan konsultasi dengan DPD.
Badan Urusan Rumah Tangga. Susunan keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (selanjutnya disebut BURT) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.
Tugas BURT adalah antara lain:
(1) membantu
Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR, termasuk
kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
(2) membantu
Pimpinan DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
kewajiban yang dilakukan oleh sekretariat Jenderal; dan
(3) membantu
Pimpinan DPR dalam merencanakan dan menyusun Anggaran DPR dan Anggaran
Sekretariat Jenderal.
BURT dapat
meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada sekretariat jenderal. BURT
memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun sidang kepada
Pimpinan DPR. Dalam melaksanakan tugasnya BURT bertanggung jawab kepada
Pimpinan DPR.
Badan Kerja Sama antar
Parlemen. Susunan keanggotaan Badan Kerja Sama antar Parlemen (selanjutnya
disebut BKSAP) ditetapkan oleh DPR menurut perimbangan dan pemerataan jumlah
anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan Tahun Sidang ketiga. Susunan keanggotaan BKSAP ditetapkan oleh Rapat
Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Tugas BKSAP
antara lain:
(1) membina,
mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR
dengan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral,
termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen-parlemen dan/atau
anggota-anggota parlemen;
(2)
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi
parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
(3) mengadakan
evaluasi dan mengembangkan tindak lanjut dari hasil pelaksanaan tugas BKSAP,
terutama hasil kunjungan delegasi DPR ke luar negeri; dan
(4) memberikan
saran atau usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antar parlemen.
BKSAP dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengadakan konsultasi dengan pihak yang dipandang
perlu mengenai hal yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Selain itu,
BKSAP juga dapat mengadakan hubungan dengan parlemen negara lain dan organisasi
internasional atas penugasan atau persetujuan Pimpinan DPR.
Badan Kehormatan. Susunan
keanggotaan Badan Kehormatan (selanjutnya disebut BK) ditetapkan oleh DPR dalam
Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang
ketiga. Anggota BK berjumlah 13 (tiga belas) orang. Tugas BK antara lain:
- Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan keputusan tersebut kepada Pimpinan DPR.
- Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; melanggar sumpah/janji, Kode Etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota; atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan;
- BK mempunyai wewenang untuk memanggil anggota dewan yang bersangkutan untuk memberikan pernjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Selain itu, BK
juga dapat memanggil pelapor, saksi, atau pihak-pihak lain yang terkait untuk
dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Setelah
Badan Kehormatan melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan,
pembelaan, bukti-bukti serta sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan
sanksi berupa:
- Teguran tertulis yang disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Anggota yang bersangkutan;
- Pemberhentian dari Jabatan Pimpinan DPR atau Pimpinan Alat Kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibacakan dalam rapat Paripurna;
- Pemberhentian sebagai Anggota oleh Pimpinan DPR disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan; dan
- Badan Kehormatan dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila Anggota yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang diumumkan dalam rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh Anggota.
Panitia Khusus. Apabila
memandang perlu, DPR dapat membentuk Panitia Khusus (selanjutnya disebut
Pansus) yang bersifat sementara. Komposisi keaggotaan Pansus ditetapkan oleh
Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi. Jumlah
Anggota Pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna sekurang-kurangnya 10 orang dan
sebanyak-banyaknya 50 orang.
Pansus bertugas melaksanakan
tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Rapat
Paripurna. Pansus bertanggung jawab kepada DPR. Pansus otomatis dibubarkan oleh
DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan
selesasi. Rapat Paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja Pansus.
Panitia Kerja. Panitia yang
dibentuk oleh Alat Kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja (selanjutnya disebut
Panja) atau tim yang berjumlah sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota
alat kelengkapan yang bersangkutan, kecuali Tim yang dibentuk oleh Pimpinan DPR
disesuaikan dengan kebutuhan.
Panja atau Tim bertugas
melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh
Alat Kelengkapan DPR yang membentuknya. Panja atau Tim dibubarkan oleh Alat
Kelengkapan DPR yang membentuknya setelah jangka waktu penugasannya berakhir
atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Tindak lanjut hasil kerja Panitia
Kerja atau Tim ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.
- Proses Pembuatan Undang-undang
DPR memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. RUU dapat berasal
dari DPR, Presiden, atau DPD.
DPD dapat mengajukan kepada DPR,
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Apabila ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang
sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU
yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
RUU yang sudah disetujui bersama
antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 hari kerja disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila
setelah 15 hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum
disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden
untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut
disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
RUU dari Presiden. RUU beserta
penjelasan, keterangan, atau naskah akademis yang berasal dari Presiden
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden
yang juga menyebutkan Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan
RUU tersebut.
Dalam Rapat Paripurna berikutnya
– setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR – Pimpinan DPR memberitahu anggota
dewan soal masuknya RUU dari presiden. Pimpinan DPR lalu membagikan RUU
tersebut kepada seluruh anggota dewan. Namun, jika RUU tersebut berkait dengan
dengan bidang yang diawasi DPD, maka RUU disampaikan kepada Pimpinan
DPD.Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU
dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang
mewakili Presiden.
RUU dari DPD. RUU beserta
penjelasan, keterangan, dan naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan
secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR. Setelah RUU dari DPD
diterima, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota dewan dalam Rapat
Paripurna berikutnya. RUU juga dibagikan kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR
lalu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal
pengumuman RUU telah dilakukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna.
Bamus selanjutnya menunjuk
Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, serta mengagendakan
pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Baleg
mengundang anggota Alat Kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari
jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU. Hasil pembahasan RUU
tersebut harus dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
Selanjutnya, RUU yang telah
dibahas lalu disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden, yaitu agar Presiden
menunjuk menteri yang mewakili Presiden guna membahas RUU tersebut bersama DPR
dan juga kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya surat penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri
yang ditugaskan mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian
RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.
- DPRD Propinsi
Pada prinsipnya, posisi DPRD
Provinsi sama dengan DPR, tetapi diarahkan ke pembuatan perundang-undangan di
tingkat Provinsi. Eksekutif mitra kerjanya adalah Gubernur. Fungsi DPRD
Provinsi adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara itu, tugas dan
wewenang DPRD Provinsi adalah sebagai berikut:
- Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
- Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
- Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan
- Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, DPRD Provinsi memiliki hak yang sama dengan DPR, baik selaku
lembaga maupun perseorangan anggota. Hak selaku lembaga tersebut adalah Hak
Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Sementara itu, selaku
perseorangan, setiap anggota DPRD Provinsi memiliki hak mengajukan rancangan
peraturan daerah (perda), hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan
pendapat, hak memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak
protokoler, dan hak keuangan/administratif.
Selain hak, kewajiban anggota
DPRD Provinsi adalah sama dengan kewajiban anggota DPR. Hanya saja, lingkup
penerapannya ada di Provinsi. Keputusan peresmian jabatan seorang anggota DPRD
Provinsi diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
- DPRD Kabupaten atau Kota
Peresmian keanggotaan DPRD
Kabupaten atau Kota dilakukan melalui Keputusan Gubernur. Jumlah anggota DPRD
Kabupaten atau Kota sekurang-kurangnya adalah 20 dan sebanyak-banyaknya 45
orang. Setiap anggota DPRD Kabupaten atau Kota harus berdomisili di Kabupaten
atau Kota tersebut. Untuk hak, kewajiban, dan kewenangan lainnya adalah mirip
dengan DPRD Provinsi. Hanya saja, diterapkan di lingkup Kabupaten atau Kota
dengan mitra kerjanya yaitu Bupati atau Walikota.
- Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah
(selanjutnya disebut DPD) adalah struktur legislatif yang relatif baru dalam
sistem politik Indonesia. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum, dan jumlah anggota DPD di setiap provinsi adalah sama. Namun,
Undang-undang Dasar 1945 mengatur bahwa jumlah total anggota DPD ini tidak
boleh melebihi 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya
satu kali dalam setahun.
Fungsi DPD adalah mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain mengajukan rancangan
undang-undang dalam konteks yang telah disebut, DPD juga ikut serta dalam
membahas rancangan undang-undang yang mereka ajukan ke DPR. Juga, DPD dapat
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
Sehubungan dengan fungsi di atas
– mengusulkan, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan – DPD juga punya hak
untuk mengawasi pelaksanaan setiap undang-undang berkait masalah di atas.
Namun, sebagai hasil pengawasan, DPD tidak dapat bertindak langsung oleh sebab
mereka harus menyampaikan terlebih dahulu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. Dalam konteks pembuatan undang-undang, DPD amat
bergantung kepada DPR.
Anggota DPD dipilih melalui
pemilu di setiap provinsi. Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya
sama (misalnya 4 orang) dan total seluruh anggota DPD tidak boleh melebihi dari
1/3 (sepertiga) jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
DPD bersidang sedikitnya satu
kali dalam satu tahun. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. RUU tersebut harus
berlingkup pada konteks otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya daerah, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
DPD juga ikut serta dengan DPR
membahas RUU yang sudah disebut di atas. Selain itu, DPD juga dapat memberi
pertimbangan kepada DPR seputar RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta RUU yang berkaitan dengan masalah pajak, pendidikan, dan agama.
DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sehubungan dengan
hal telah disebut. Hasil dari pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR
sebagai bahan untuk ditindaklanjuti.
Jimly Asshiddiqie menyatakan
bahwa awalnya DPD dimaksudkan sebagai kamar kedua (second chamber, bicameral)
Indonesia. Namun, ketentuan kamar kedua harus memenuhi persyaratan
bikameralisme: Kedua kamar sama-sama punya otoritas menjalankan fungsi
legislatif. DPD sama sekali tidak punya kekuasaan legislatif. Pasal 22D UUD
1945 menyiratkan tidak ada satupun kekuasaan DPD untuk membuat UU, meskipun
berhubungan dengan masalah daerah.
Selain itu, persyaratan menjadi
anggota DPD terkesan lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Misalnya, total
seluruh anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR. Selain itu, jumlah
mereka haruslah sama di tiap provinsi tanpa memandang besar kecilnya jumlah
penduduk di provinsi tersebut. Bandingkan dengan anggota DPR yang kursinya
diproporsikan menurut jumlah penduduk. Makin besar jumlah penduduk, makin besar
pula kursi perwakilannya. Sehubungan beratnya syarat anggota DPD ini, contoh
dapat diambil di Jawa Timur dalam Pemilu 2009. Total anggota DPD dari provinsi
tersebut adalah 4 orang. Satu kursi DPD sebab itu membutuhkan suara 5.500.000
pemilih. Sementara untuk anggota DPR, cuma membutuhkan angka 550.000:
Bandingkan antara angka 5.500.000 dengan 550.000.
Maswardi Rauf menyatakan, posisi
DPD adalah sekadar partner DPR. DPD yang dipilih langsung oleh rakyat seperti
DPR, ternyata tidak memiliki kewenangan yang sama seperti DPR dalam membuat
legislasi. Rauf melanjutkan, ketentuan konstitusi ini akibat munculnya beberapa
pandangan. Pertama, anggota DPR sesungguhnya telah mencerminkan kepentingan
daerah-daerah yang ada di Indonesia. Kedua, kecilnya peran DPD akibat muncul
kekhawatiran terjadinya konflik antara DPR dengan DPD dalam proses pembuatan UU
yang sulit dicari jalan keluarnya.
0 Response to "LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !