-->

Top Ad Slot (728x90)

PLURALISME MSYARAKAT Indonesia



Hasil gambar untuk sistem politik indonesia

PLURALISME MSYARAKAT

                Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “KEMAJEMUKAN” atau “KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk, ataupun masyarakat Aru yang majemuk.
                Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yaitu secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Menurut Furnival, suatu masyarakat majemuk (Plural Society) yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Di dalam kehidupan politik, tanda paling jelas dari masyarakat indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (Common Will).
Menurut Van den Berghe ada beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk yakni:
1.       Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.       Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer.
3.       Secara relative seing kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lain.
4.       Secara relative integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
5.       Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
                Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekeraatan. Akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi yang tinggi. Suatu masyarakat yang terbagi-bagi kedalam berbagai kelompok berdasarkan garis keturunan, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang berrsifat homogeneus.
                Di dalam arti yang demikian itulah, maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian terjadi: Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang lebih 12.637 pulau yang tersebar di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari timur ke barat dan lebih 1000 mil dari utara ke selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya suku bangsa Indonesia.
·        Apa yang dimaksud dengan pluralisme? Kita dapat mengikuti beberapa kategori makna pluralisme.
Pertama, makna pluralisme jika dihubungkan dengan konsep lain:
1)   Pluralisme (ethnic)-pluralisme etnik-adalah koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya antara beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat;
2)    Pluralisme (political)-pluralisme politik-merupakan koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam distribusi kekuasaan kepada berbagai kelompok interest, kelompok penekan, kelompok etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat;
3)  Struktur kekuasaan yang pluralistik-(pluralistic power structure)- merupakan sebuah system yang mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan;
4)  Model pluralis (pluralistmodel)-adalah analisis sistem politik yang memandang bahwa kekuasaan merupakan perluasan dari persaingan antara berbagai kelompok interest;
5)   Dual pluralist theory-teori yang mengatakan bahwa kekuasaan dalam sistem sosial didistribusikan di antara beragam kelompok dan individu;
6)  Pluralisme media. Dalam studi media (media studies),
1.                    Pluralisme merupakan pandangan bahwa media massa mempunyai kebebasan dan        kemerdekaan yang sangat besar dan diakui oleh negara, partai politik, dan kelompok-kelompok           penekan dalam masyarakat;
2.  Media massa harus dipandang sebagai media untuk melakukan kontrol sosial. Karena itu, media harus dikelola oleh sebuah manajemen yang profesional sehingga dapat menjalankan          tugas dan fungsi yang ideal bagi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat;
3.    Dalam pandangan pluralisme media, audensi tidak boleh dilihat sebagai sasaran yang dapat         dimanipulasi media. Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang setara dengan media              karena audensi merupakan sumber pemberitaan dan sasaran bisnis; dan
4.      Pluralisme juga memandang bahwa media masa merupakan agen terciptanya kebebasan            berpendapat dari suatu masyarakat demogratis. Karana itu institusi media harus dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintah dan berhubungan dengan audiens, di mana audens bebas   memilih informasi yang bermanfaat bagi mereka (Liliweri, 2003)
·        Kedua, maka pluralisme sebagai doktrin:
1).   Pluralisme adalah dokrin yan mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak ada satupun ”sebab” yang bersifat tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi terjadinya perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin, ada banyak sebab yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sosial atau perubahan dalam masyarakat.
2).  Pluralisme merupakan dokrin yang pada awalnya timbul sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali ideologi itu dikarenakan tidak ada satupun ”gaya simbolik budaya” yang mampu menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.
3).  Konsep pluralisme dimaknai oleh pemerintah sebagai proses melakukan bargaining atau kompromi terhadap para pemimpin dari beragam kelompok (etnik dan ras atau kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dan lain-lain. Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa tak ada satu kelompok pun yang menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti; sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui pengaruh individu atau kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga, makna pluralisme dalam konsep ilmu pengetahuan (ilmu sosial):
1). Pluralisme merupakan sebuah model ”politik” yang memungkinkan terjadinya perluasan peran individu atau kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum sosial atas kekuasaan yang lebih demokratis, karena kekuasaan berada ditangan beberapa individu dari beragam kelompok yang berbeda-beda.
2).  Pluralisme menggambarkan suatu keadaan masyarakat di mana setiap individu atau kelompok yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai social fabric.
3).  Pluralisme merupakan salah satu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab dari sebuah perubahan sosial, harus dapat di uji melalui interaksi beragam faktor dan bukan dianalisis hanya dari satu faktor semata-mata, dan beragam faktor itu adalah faktor kebudayaan. Inilah yang membedakan pandangan Weber bahwa kebudayaan imatetiil mendorong perubahan sosial, dari pandangan Marx bahwa perubahan sosial bersumber dari kebudayaan materiil.
4).  Pluralisme merupakan pandangan posmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus dihargai dan diperhatikan. Tak ada satu kebudayaan (atau masyarakat) pun yang superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan mempunyai kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain. Pandangan ini wajar, karena pada kenyataannya betapa sering kita menemukan ada kebudayaan atau seperangkat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu yang tidak kita ketahui secara pasti. Oleh karena itu, pluralisme menglaim bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial oleh penduduk yang beragam. Tesis utama pluralisme sering digunakan dalam ilmu politik secara konservatif, bahwa kekuasaan sosial ekonomi harus disebarkan secara berimbang di antara semua kelompok dalam masyarakat.
                Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa secara teoritis, pluralisme (budaya) merupakan sebuah konsep yang menerangkan ideal (ideologi) kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat multikultur, di mana kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mendorong pengaruh timbal balik di antara mereka. Dan dalam masyarakat multikultur tersebut, kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki, 1984).
                Rumusan istilah  yang dapat ditarik dari rumusan-rumusan makna pluralisme di atas adalah: pertama, pluralisme (budaya) menggambarkan kenyataan bahwa dalam masyarakat, ada kelompok-kelompok etnik yang tidak terakulturasi ke dalam identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok seperti ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas agama yang dipeluk etniknya, dan lain-lain, yang berarti mereka menampilkan sistem nilai yang berbeda dari nilai etniknya. Kedua, bahwa terbentuk pula pluralisme struktural dalam masyarakat, yang menggambarkan perbedaan budaya di antara, kelompok-kelompok etnik, tetapi perbedaan tersebut hanya terletak pada wilayah struktur sosial semata-mata. Berarti, meskipun kelompok-kelompok etnik itu mempunyai beberapa unsur budaya yang sama dengan budaya dominan, mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang terpisah dari kelompok dominan.
                Menurut Suzuki, bagaimanapun juga, dalam pluralisme terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi mereka dengan orang lain dari kebudayaan dominan. Akhirnya, pluralisme sebagai sebuah ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme) merepkan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun juga, konsep pluralisme budaya memang sangat bertentangan dengan fokus  etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan oleh Newman, pluralisme merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur sosial  masyarakat, dimulai dari perubahan struktur sosial individu dan kelompok (Suzuki 1984; Soderquist 1995).
Sementara itu, john Gray dalam Singelis (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya pluralisme mendorong  perubahan cara berpikir dan bersifat universal, untuk mencegah klaim  pandangan  bahwa ada  kebudayaan yang paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu  kebudayaan pun yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu menjadi rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling penting dari pluralisme. Jadi, seorang pluralis-dengan kata lain –harus dan selalu akan mengatakan bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal, dan norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan dimana saja, harus diingat bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada validitas kearifan budaya sendiri.

KARAKTER SISTEM SOSIAL BUDAYA
Karakter sistem sosial budaya bangsa kita meliputi.
1.    Rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan  produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
2.    Tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
3.    Diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.
4.    Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada  suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”.

B.   METODE PENDEKATAN SISTEM SOSIAL BUDAYA
Terdapat tiga metode pendekatan sistem sosial budaya, yaitu.
1.    Pendekatan fungsional-struktural
Pendekatan ini menganalisis sistem sosial secara makro. Kalangan penganut paradigma ini kerap juga disebut fungsionalis. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah sebuah sistem yang teratur dan bersifat stabil. Pendekatan ini juga memandang masyarakat sebagai sistem kompleks yang bagian-bagian di dalamnya bekerja secara bersama guna menghasilkan solidaritas dan stabilitas. Sistem yang stabil ini dicirikan konsensus masyarakat di mana mayoritas anggota (para individu) memiliki perangkat nilai, kepercayaan, dan perilaku yang digunakan secara bersama. Pendekatan ini juga memandang masyarakat terdiri atas bagian-bagian (struktur) yang menjalankan fungsi yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan padu dan harmonis antar struktur dan fungsi tersebut menyumbang pada stabilitas masyarakat. Dalam upaya mencapai stabilitas, masyarakat – menurut para fungsionalis – mengembangkan struktur-struktur sosial (atau lembaga). Struktur sosial adalah pola perilaku sosial yang relatif stabil. Struktur sosial dibutuhkan agar masyarakat tetap ada yang diantaranya direpresentasikan lembaga keluarga, pendidikan, agama, pemerintah ataupun lembaga-lembaga ekonomi (pasar, peternakan, perkebunan, misalnya). Jika satu struktur tidak menjalankan fungsinya, maka fungsi yang dijalankan struktur lain akan terganggu dan akibatnya sistem sosial mengalami instabilitas. Pendekatan fungsional-struktural¬ sulit dilepaskan dari tulisan Talcott Parsons lewat publikasi tulisannya Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951). Bagi Parsons, setiap sistem sosial membutuhkan terpenuhinya empat prinsip agar bisa berjalan stabil yaitu fungsi-fungsi eksternal seperti adaptasi dan pencapaian tujuan serta fungsi-fungsi internal seperti integrasi dan pemeliharaan pola
Asumsi-asumsi utama yang mendasari pendekatan fungsional-struktural adalah:
Ø  Stabilitas, di mana kriteria penilaian utama bagi aneka pola sosial adalah kontribusi pola-pola tersebut terhadap terpeliharanya (stabilitas) masyarakat;
Ø  Harmoni, dalam mana layaknya bagian-bagian tubuh suatu organ tubuh, bagian-bagian masyarakat dipandang saling bekerja sama secara harmonis demi kebaikan seluruh masyarakat;
Ø  Evolusi, dalam mana perubahan yang terjadi dalam masyarakat selalu bersifat evolutif, bukan revolutif.
2.    Pendekatan konflik
Pendekatan ini menganalisis sistem sosial secara makro. Berbeda dengan pendekatan fungsional-struktural yang menekankan pada solidaritas dan stabilitas, pendekatan konflik menekankan pada ketimpangan dan perubahan sosial. Selain itu, menurut pendekatan ini, kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat terlibat dalam pertarungan terus-menerus (endless conflict) demi memperebutkan sumber daya yang langka.
Pendekatan konflik dapat ditelusuri pada tulisan-tulisan determinisme ekonomi Karl Marx di abad ke-19 yang mengetengahkan konflik antara kelas ekonomi proletar versus borjuis dalam masyarakat industri. Namun, dalam periode selanjutnya, determinisme ekonomi Marx sulit untuk terus dipertahankan sebagai satu-satunya sumber konflik sosial. Satu hal yang masih diterima oleh pendekatan konflik Marx adalah, hubungan-hubungan di dalam masyarakat penuh dengan ketegangan sebagai respon atas ketimpangan sosial. Ketimpangan ini memicu munculnya konflik. Konflik diselesaikan melalui konsensus yang menghadirkan norma-norma, nilai-nilai, serta lembaga-lembaga baru dan dengan demikian konflik ini melahirkan perubahan sosial. Konsensus pasca konflik ini disumsikan bersifat sementara karena masih menyisakan sumber konflik dan ketimpangan lalu menyebabkan konflik baru. Demikian siklus pemikiran konflik yang berlangsung secara dialektis: tesis-antitesis-sintesis-tesis. Selain Marx, pendekatan konflik juga diperkaya oleh pemikiran Max Weber, Georg Simmel, C. Wright Mills, Lewis Coser, Randall Collins, Ralf Dahrendorf ataupun Eric Olin Wright. Mereka adalah pemikir-pemikir konflik pasca Marx yang melihat bahwa konflik tidak hanya muncul akibat masalah ekonomi melainkan pula konflik antarkelompok yang disebabkan perbedaan agama, perbedaan ras, perbedaan etnis, konsumen versus produsen, gagasan, pemerintah pusat versus pemerintah lokal, penduduk lokal versus pendatang, ataupun penduduk kota versus penduduk desa.
Secara umum, pendekatan konflik memiliki tiga asumsi utama dalam memandang sistem sosial, yang terdiri atas:
Ø  Kompetisi. Kompetisi memperebutkan sumberdaya langka (uang, waktu luang, kekuasaan, pengaruh) merupakan jantung dari semua hubungan sosial. Kompetisi adalah ciri utama dari hubungan sosial, bukan konsensus.
Ø  Ketimpangan Struktural. Ketimpangan kekuasaan dan pendapatan (reward) adalah inheren (melekat) di dalam setiap struktur sosial. Individu atau kelompok yang memperoleh posisi diuntungkan karena mendominasi sumberdaya langka selalu cenderung mempertahankannya, sementara pihak selain mereka berupaya merebutnya.
Ø  Perubahan Sosial. Perubahan sosial muncul sebagai konsekuensi logis dari konflik antara kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam mana hal ini berbeda dengan pendekatan struktural-fungsional yang memandang proses adaptasi-lah yang mengakibatkan perubahan sosial.

3.    Pendekatan interaksi-simbolik
Jika pendekatan fungsional-struktural dan konflik cenderung fokus pada level makro-sosial, maka pendekatan interaksi-simbolik cenderung fokus pada level mikro-sosial. Pendekatan bercorak mikro-sosial lebih tertarik mengamati hubungan sosial lewat interaksi sosial antar manusia dalam situasi tertentu. Situasi-situasi tertentu mendorong pada perilaku sosial yang spesifik.
Pendekatan interaksi-simbolik didefinisikan sebagai kerangka teori yang menganggap masyarakat tidak lain merupakan produk interaksi antar individu dalam kegiatan sosial sehari-hari. Menurut interaksi-simbolik yang disebut sebagai masyarakat tidak lain adalah totalitas interaksi antarindividu dan antarkelompok yang berlangsung di dalamnya. Pandangan ini juga menganggap masyarakat tidak lebih sekadar realitas yang dikonstruksi oleh aneka individu dan kelompok saat mereka berinteraksi satu sama lain. Interaksi menciptakan realitas dan realitas tersebutlah yang mempengaruhi bagaimana individu-individu memandang orang lain. Melalui cara pandang ini munculah konsep identitas. Pendapat-pendapat Max Weber adalah akar dari pendekatan interaksi-simbolik. Weber pernah berujar bahwa gagasan-lah yang sesungguhnya membentuk suatu masyarakat dan gagasan pula yang mengubah masyarakat. Gagasan lahir melalui interaksi antarindividu.
Asumsi-asumsi utama yang menjadi pijakan pendekatan interaksi-simbolis adalah:
Ø  Pentingnya makna, dalam mana perilaku, gerak-gerik atau kata-kata bisa memiliki makna yang beragam. Makna akan suatu hal bagi partisipannya (penggunanya) harus dipahami jika seseorang hendak memahami perilaku manusia, dan metodenya dikenal dengan nama verstehen;
Ø  Makna muncul dari hubungan, dalam mana disaat terjadi perubahan hubungan, maka makna-makna pun turut berubah;
Ø  Setiap orang selalu menegosiasikan makna, di mana setiap orang selalu bersikap kritis atas pemaknaan orang lain atas tindakannya.

C.   PLURALISME SOSIAL BUDAYA SEBAGAI REALITAS OBJEK MASYARAKAT INDONESIA
                Pluralisme menurut bahasa adalah teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnik, budaya, tradisi, suku maupun agama. Hal tersebut memberikan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistik.
Tipologi pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Beberapa mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu; keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1.    Pluralisme Basis Relativisme
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme, bahkan sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute. Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolut.
2.    Pluralisme Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
3.    Pluralisme Basis Theosofis
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
4.    Pluralisme bukan toleransi
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).

D.   MANFAAT DAN KERUGIAN PLURALISME
1.    Manfaat pluralisme
                Manfaat dari pluralisme adalah mengajak warga negara agar dapat membangkitkan sifat pengharagaan antara satu ras dengan ras lainnya, antara etnik atau suku yang satu, dengan suku lainnya, antara pengikut agama yang satu dengan agama lainnya, antara golongan yang satu dengan lainnya. Selain itu, setiap warga, etnik, dan ras dan penganut agama tertentu, dapat mengembangkan kultur, nilai-nilai ajarannya, serta tradisinya. Tak seorang pun yang dapat menghalangi upaya pengembangan ini. Mereka dilindungi oleh undang-undang, yang berdasarkan kesepakatan dan persetujuan warga secara keseluruhan.. Dengan demikian, setiap warga dapat berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa merasa tertekan, dikontrol, serta diawasi oleh warga lain yang berbeda kultur. Setiap warga memiliki hak untuk hidup dan maju, bahkan mengembalikan tradisi dan kultur lama yang menjadi ajaran atau anutan pada warga itu. Institusi dan pranata sosial dan kulural dapat berdiri sebanyak-banyaknya, tanpa ada halangan dan tantangan. Hubungan dengan kultur yang sama dapat dibangun seoptimal dan sedekat mungkin, tanpa ada batas-batas hierarkikal dan birokrasi, hingga batas Negara sekalipun.
Orang Kristen, umpamanya, dapat saja menjalin hubungan dengan umat Kristiani di belahan Eropa, di AS, dan Australia. Umat Hindu dapat saja saling tolong menolong dalam hal kehidupan dengan India. Pengikut Buddha dan Kong Hu Chu pun, dapat sangat akrab dengan bangsa Asia Timur seperti Cina, Jepang, Korea, Taiwan, dan Indo Cina. Umat Islam dapat menikmati hubungan mesra dan silatur rahim dengan bangsa Arab, Berber, Afrika, Asia Tengah, Persia, dan Anak Benua India. Setiap penganut agama ini dapat saja membangun tempat ibadah di manapun saja mereka punya tanah hak milik. Bahkan menyewa juga seharusnya pun bisa! Mereka dapat melakukan upacara keagaman secara terbuka dan masif.

2.    Kerugian pluralisme
a.    pluralisme lahir dari gagasan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. 
b.    Pluralisme mengganggap hakekat semua agama sama.
c.    Pluralisme pada faktanya telah dijadikan sebagai alat untuk menghalangi ter-wujudnya pelaksanaan syariat Islam secara total dalam sebuah negara.
E.   PRINSIP TOLERANSI INDIVIDU DAN KELOMPOK MASYARAKAT PLURAL
                Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil. Kadang-kadangtoleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok kelompok manusia, untuk sedapat mungkin menghindarkan.
Di era reformasi ini, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsaIndonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan,khususnya bidang agama. Ada dua model toleransi, yaitu :
1)    toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaansebagai sesuatu yang bersifat faktual.
2)    toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalahhidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu padarelasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa,radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan. Seluruh agama harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal ini tidak akan tercapai hanya denganmengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan. Toleransi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah:sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku,agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yangterjadi di lingkungannya.
·       Multikulturalisme
  • Konsep multikulturalisme, berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan (2002),  tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic group) atau kebudayaan sukubangsa (ethnic culture) yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Kalau konsep dan prinsip kemajemukan lebih menekankan pada keanekaragaman yang ada dalam realitas masyarakat per se, kemajemukan adalah sesuatu yang dapat dilihat dan diterima secara kasat mata, sesuatu yang fisik, realitas fisik (physical reality).
  • Oleh karena itu keanekaragaman (pluralism) itu terletak atau adanya lebih dahulu dari atau cikal bakal dari akan tampilnya  multikulturalisme. Jadi, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang bersifat majemuk atau beragam dalam kesukubangsaan atau etnisitas (etnicity), dan yang menerima dan menghargai keanekaragaman yang sudah tentu mengandung di dalamnya perbedaan -- misalnya budaya, nilai-nilai budaya, pendapat atau ide dan apa saja yang terkait dengan keberagaman fisik, sebagai suatu realitas yang ada. Dengan konsep ini, multikulturalisme lebih dipandang dan semestinya diperlakukan sebagai ideologi dan bukan lagi sebagai prinsip – sebagaimana pluralisme sudah diperlakukan.

  • Multikulturalisme menurut Para  Ahli

§         Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik. Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan  ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
§         Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati. 


Perjalanan   Multikulturalisme di Indonesia

            Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai “multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
  •             Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
  •             Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
  •              Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu  melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
  •             Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
  •             Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
  •             Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

                        Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

  •             Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa. Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.
  •             Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.


Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah

·                    Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.

·                    Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.


0 Response to "PLURALISME MSYARAKAT Indonesia"

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel