Partai Politik di Indonesia
Partai Politik di Indonesia
A. Pengertian Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari suatu segi khusus dari
kehidupan masyarakat yang menyangkut soal kekuasaan. Secara umum ilmu politik
ialah ilmu yang mengkaji tentang hubungan kekuasaan, baik sesama warga negara,
antar warga negara dan negara, maupun hubungan sesama negara. Yang menjadi
pusat kajiannya adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan
kekuasaan, penggunaan kekuasaan tersebut dan juga bagaimana menghambat penggunaan
kekuasaan.
Sistem
kepartaian dan partai politik merupakan 2 konsep berbeda. Sistem kepartaian
menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik
spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di
setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek
sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi Liberal,
Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.
Demokrasi
Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk
berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya.
Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami,
bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas
melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut
di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina,
dan lain-lain.
Komunis adalah
sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan
partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1
partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik
dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri,
akan dibubarkan. Negara-negara yang masih menganut sistem politik komunis ini
adalah Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Cina. Di negara-negara tersebut, Partai
Komunis adalah satu-satunya partai yang berkuasa dan boleh berdiri.
Otoritarian
Kontemporer adalah sistem politik dalam mana personalitas pemerintah (presiden
dan pendukungnya) sangat besar. Dalam Otoritarian Kontemporer, biasanya ada
satu partai dominan dan beberapa partai “figuran.” Pemerintah mengontrol
keberadaan partai-partai politik dan mengintervensi jika terdapat masalah dalam
struktur internal partai. Indonesia di masa Orde Baru mencirikan hal ini, di
mana Golkar menjadi partai dominan, sementara PPP dan PDI selaku partai
“figurannya.” Negara lain yang memberlakukan sistem ini adalah Singapura dan
Malaysia.
Kediktatoran
Militer adalah pemerintahan yang dikuasai sebuah faksi militer. Kediktatoran
Militer biasanya muncul ketika militer menilai politisi sipil tidak mampu
menyelesaikan masalah yang telah berlarut-larut. Militer (salah satu faksinya)
kemudian melakukan kudeta dan langsung memerintah tanpa memperhatikan
partai-partai politik yang ada. Pemerintahan yang muncul ini menyerupai
“darurat perang”, sehingga mustahil partai politik dapat beraktivitas secara
leluasa. Myanmar dan Pakistan di bawah Jenderal Musharraf adalah contoh dari
kediktatoran militer ini.
B.
Partai Politik
Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai
politik sebagai pilar utama penyangga
demokrasi. Artinya, tak
ada demokrasi tanpa
partai politik. Karena begitu pentingnya peran partai politik, maka
sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai
partai politik. Peraturan
perundang-undangan ini
diharapkan mampu menjamin
pertumbuhan partai politik
yang baik, sehat,
efektif dan fungsional.
Dengan kondisi partai politik yang sehat dan
fungsional, maka memungkinkan untuk
melaksanakan rekrutmen pemimpin
atau proses pengkaderan,
pendidikan politik dan kontrol
sosial yang sehat.
Dengan partai politik pula,
konflik dan konsensus
dapat tercapai guna mendewasakan
masyarakat. Konflik yang
tercipta tidak lantas
dijadikan alasan untuk memecah
belah partai, tapi
konflik yang timbul
dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan
fungsional.
Pentingnya
keberadaan partai politik
dalam menumbuhkan demokrasi
harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui
hanya partai politik yang berhak
mengajukan calon dalam
pemilihan umum. Makna
dari ini semua
adalah, bahwa proses politik dalam
pemilihan umum (Pemilu),
jangan sampai mengebiri
atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi partai politik. Kalaupun
saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap partai politik, bukan
berarti lantas menghilangkan eksistensi
partai dalam sistem
ketatanegaraan. Semua yang
terjadi sekarang hanyalah bagiandari proses demokrasi.
Menumbuhkan
partai politik yang
sehat dan fungsional
memang bukan perkara mudah.
Diperlukan sebuah landasan
yang kuat untuk
menciptakan partai politik yang
benar-benar berfungsi sebagai
alat artikulasi masyarakat.
Bagi Indonesia, pertumbuhan
partai politik telah
mengalami pasang surut.
Kehidupan partai politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908.
Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu
seperti Budi Oetomo
belum bisa dikatakan
sebagaimana pengertian partai politik secara modern. Budi Utomo
tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public
office) di dalam
persaingan melalui pemilihan
umum. Juga tidak
dalam arti organisasi yang
berusaha mengendalikan proses
politik. Budi Oetomo
dalam tahun-tahun itu
tidak lebih dari
suatu gerakan kultural,
untuk meningkatkan kesadaran
orang-orang Jawa.
Perkembangan
partai politik kembali
menunjukkan geliatnya tatkala pemerintah menganjurkan perlunya
di bentuk suatu
partai politik. Wacana
yang berkembang pada waktu itu
adalah perlunya partai
tunggal. Partai tunggal
diperlukan untuk menghindari perpecahan
antar kelompok, karena
waktu itu suasana
masyarakat Indonesia masih diliputi semangat revolusioner. Tapi niat
membentuk partai tunggal yang rencananya
dinamakan Partai Nasional
Indonesia gagal, karena
dianggap dapat menyaingi Komite
Nasional Indonesia Pusat
dan dianggap bisa
merangsang perpecahan dan bukan
memupuk persatuan. Pasca pembatalan niat pembentukan partai tunggal, atas
desakan dan keputusan
Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat,
pemerintah mengeluarkan maklumat yang
isinya perlu di
bentuk partai politik
sebanyak-banyaknya guna menyambut pemilihan umum anggota Badan-Badan
Perwakilan Rakyat.
Semangat
kekaryaan yang terwujud
dalam bentuk pengakuan
terhadap golongan karya bibitnya
telah tumbuh ketika
pembahasan UUD 1945
sedang dialkukan. Namun kedudukannya
secar formal belum
diatur dengan tegas
pada awal kemerdekaan, hingga keluarnya Maklumat Wakil
Presiden.
Pada
tanggal 16 Oktober
1945 keluar Maklumat
Wakil Presiden Nomor
X yang susul kemudian
dengan Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November
1945, yang memberikan kesempatan
mendirikan partai-partai politik dengan ideologi yang beraneka ragam.
Pada
keadaan seperti itulah
partai politik tumbuh
dan berkembang selama revolusi fisik
dan mencapai puncaknya
pada tahun 1955
ketika diselenggarakan
pemilihan umum pertama
yang diikuti oleh
36 partai politik,
meski yang mendapatkan kursi di
parlemen hanya 27 partai.
Pergolakan-pergolakan dalam Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah
menyudutkan posisi partai politik.
Hampir semua tokoh,
golongan mempermasalahkan keberadaan
partai politik. Kekalutan dan
kegoncangan di dalam sidang
konstituante inilah yang
pada akhirnya memaksa Bung
Karno membubarkan partai-partai
politik, pada tahun
1960, dan hanya boleh tinggal
10 partai besar
yang pada gilirannya
harus mendapatkan restu
dari Bung Karno sebagai tanda
lolos dari persaingan.
Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah
Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik.
Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya partai politik dianggap tidak
menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan.
Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada
tahun 1973, partai
yang diperbolehkan tumbuh
hanya berjumlah tiga
yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Nampak sekali
bahwa partai-partai yang ada
di Indonesia boleh
dikatakan merupakan partai yang
dibentuk atas prakarsa
negara. Pembentukan partai
bukan atas dasar kepentingan
masing-masing anggota melainkan
karena kepentingan negara. Dengan kondisi
partai seperti ini,
sulit rasanya mengharapkan partai menjadi
wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi,
pertumbuhan partai politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing
anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem
multi-partai ini sebagai
titik awal pertumbuhan
partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik
yang sama di antara anggotanya.
Kondisi yang
demikian ini perlu
dipertahankan, karena partai
politik adalah alat demokrasi
untuk mengantarkan rakyat
menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi
sejati tanpa partai
politik. Meski keberadaan
partai politik saat
ini dianggap kurang baik,
bukan berarti dalam
sistem ketatanegaraan kita
menghilangkan peran dan eksistensi
partai politik. Keadaan
partai politik seperti
sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Partai
politik merupakan keharusan
dalam kehidupan politik
pada saat ini yang demokratis. Sebagai suatu
organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan
memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi
bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan
politik secara absah dan damai. Karena itu partai politik dalam pengertian
modern dapat didefinisikan sebagai suatu
kelompok yang mengajukan
calon-calon bagi jabatan
public untuk dipilih oleh
rakyat sehingga dapat
mengontrol atau mempengaruhi
tindakan-tindakan pemerintah.
Partai
politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil -
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Partai politik adalah sarana politik
yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik
dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki
platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan
kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development
sebagai suprastruktur politik.
Dalam
rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infrastruktur
Politik
dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni :
- Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
- R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
- Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
- Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Robert Michels menyatakan bahwa partai politik,
sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis
mengindetifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial
yang mereka wakili. Partai sengaja dibentuk sebagai alat untuk mengamankan
tujuan. Juga menjadi bagian dari tujuan itu sendiri, memiliki tujuan dan
kepentingan di dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah partai, kepentingan massa
pemilih yang telah membentuk partai kerap kali terlupakan oleh sebab terhalangi
oleh kepentingan birokrasi yang dijalankan pemimpin-pemimpinnya.
Definisi lain mengenai partai politik diajukan oleh
Joseph Schumpeter tahun 1976 dalam bukunya Capitalism, Socialism, and
Democracy. Menurutnya, partai politik adalah kelompok yang anggotanya bertindak
terutama dalam hal perjuangan mencapai kekuasaan Partai dan para politisinya
merupakan contoh sederhana bagi tanggapan atas ketidakmampuan massa pemilih
untuk bertindak selain dari ketidakrapian organisasinya, dan mereka secara
nyata berusaha mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang
dilakukan oleh asosiasi perdagangan.
Definisi Schumpeter
ini cukup sinis, dengan menyatakan bahwa partai politik bisa berperan oleh
sebab para pemilih (warganegara) sendiri tidak terorganisasi secara baik untuk
memenuhi kepentingannya di dalam negara. Schumpeter juga menganggap partai
politik adalah sama seperti pedagang, di mana komoditas yang diperjualbelikan
adalah isu politik yang dibayar dengan pemberian suara oleh para pemilih.
Karena itu
partai politik merupakan
media atau sarana
partisipasi warga negara dalam
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan
siapa yang menjadi
penyelenggara negara pada
berbagai lembaga negara
di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa
keanggotaan partai politik terbuka bagi sernua warga negara, sehingga para
anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula
menjadi sarana integrasi
nasional. Dengan menggunakan
ideologi partai sebagai pelita
penunjuk arah, para pengurus dan aktivis partai berupaya menampung dan mengagregasikan aspirasi
anggota, simpatisan, dan rakyat pada
umumnya menjadi alternatif
kebijakan publik untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif. Karena itu
ideologi suatu partai
ataupun ideologi yang
dianut politisi dapat
dikhat pada pola dan
arah kebijakan yang
diperjuangkannya dalam pembuatan
APBN/APBD, pada pernyataan
politik yang dikemukakan untuk menanggapi persoalan yang dihadapi negara-bangsa, pada
respon yang diberikan
terhadap aspirasi yang
diajukan oleh berbagai kelompok dalam
masyarakat, pada pola dan arah
peraturan perundang-undangan yang diperjuangkannya, dan
pada sosok dan
profile orang-orang yang
diusulkan atau dipilihnya untuk
menduduki berbagai jabatan
kenegaraan di pusat
dan daerah. Untuk memperjuangkan cita-cita partai dan
aspirasi rakyat yang diagregasikan berdasarkan cita-cita partai
itu, partai politik
mencari dan mempertahankan kekuasaan
di lembaga legislatif dan
eksekutif melalui pemilihan
umum dan cara
lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
C. Sejarah Perkembangan
Partai Politik
Partai telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang sudah
mapan seperti gereja atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan
Bolsheviks pada tahun 1917 pada saat menumbangkan kekaisaran Tsar.
Pada
awal abad ke-19 gereja katolik di Eropa menyatukan diri pada pemerintahan
demokrasi, dan pemilihan sebagai sarana demokrasi dilaksanakan dengan jalan
membentuk partai Kristen Demokrat yang secara bertahap melepaskan orientasi
keagamaan mereka demi organisasi, program, dan panggilan partai. Langkah ini
kemudian diikuti oleh pembentukan partai Sosialis yang meninggalkan cara revolusi
untuk mengadakan perombakan. Setelah Perang Dunia Kedua, partai komunis
mengalami hal yang sama. Sisi tajam revolusi sebagai ciri partai komunis
menjadi tumpul. Di beberapa negara yang baru merdeka, partai politik muncul
dengan misi menanamkan partisipasi dan kesadaran politik pada masyarakat yang
merasa tidak puas dan terasingkan.
Tahap
kedua perkembangan partai politik muncul setelah pertengahan abad ke-19.
Pertama, perluasan daerah lingkup pemilihan di Amerika sekitar pertengahan
tahun 1830-an dan antara 1848-1870, dan pada waktu yang hampir bersamaan juga
terjadi di Jerman dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Abad ke-19 adalah
abad politik, di mana masalah-masalah politik seperti pemilihan umum, kebebasan
membentuk asosiasi, hubungan antara gereja dan negara, dab perkembangan
instrumen demokrasi itu sendiri, telah menjadi isu utama dan perdebatan.
Tahap
ketiga perkembangan parta-partai terjadi pada sebelum dan sesudah akhir abad
ke-19. Pada periode ini Maurice Duverger secara jitu mengkaitkan pertumbuhan
dari apa yang disebut partai-partai diluar parlemen (extra parliamentary parties).
Cikal bakal organisasi tersebut sumbernya bukan berasal dari parlemen melainkan
dari orang-orang yang tidak senang terhadap parlemen.
Keyakinan
dan disiplin kaku menyertai munculnya partai-partai komunis Eropa Barat, yang
didirikan setelah Perang Dunia I. Partai komunis pada dasarnya merupakan
kombinasi antara seorang tentara dan sebuah gereja, keras pendirian,
berdisiplin tinggi dan seringkali menentukan secara efektif komitmen dan
loyalitas penuh para anggota secara individual.
Setelah
Perang Dunia II, semua partai politik Dunia Barat dan negeri industri maju
(termasuk Uni Soviet dan Jepang) mulai menampakkan beberapa karakteristik baru.
Semua partai menjadi semacam pedagang perantara (broker) dari suatu masyarakat yang terjadi
karena kemajuan industri. Oleh karena itu partai menjadi lebih representatif
dan lebih reformis. Partai tidak lagi berusaha menyelesaikan isu dengan
penyelesaian total yang mencakup struktur sosial dan ekonomi masyarakat
tetapi lebih dengan kompromi dan perubahan sedikit demi sedikit.
Kondisi-kondisi
di mana partai lahir dan berkembang di Barat jauh berbeda dengan kemunculan
partai-partai di negara baru. Partai politik di negara bekas jajahan muncul
untuk mengatasi masalah-masalah, yang pihak barat (pemerintah kolonial) tidak
terlibat secara langsung. Serangkaian masalah tersebut adalah emansipasi dan
identitas nasional, pembuatan nilai-nilai (aturan) tentang pelaksanaan
partisipasi politik, penciptaan lembaga baru yang legitimate (absah),
pembentukan norma-norma baru yang mendukung dan pembentukan lembaga pemerintah
yang membagi ganjaran sementara menarik dukungan.
Perbedaan
antara Barat dan negara-negara baru sangatlah mudah. Di negara baru, tidak
adanya sistem yang mendukung terciptanya partai politik, tidak ada legitimasi
prosedur pemerintahan yang memungkinkan partai dapat beroperasi dan yang dapat
didukung oleh partai yang hanya sedikit berpengalaman dengan sistem
pemerintahan perwakilan dan tidak adanya pengertian umum yang mendefinisikan
hak-hak umum tertentu secara terbatas.
D. Sistem Kepartaian
1. Sistem partai tunggal
Merupakan
sistem dimana hanya ada satu partai didalam satu negara. Partai tersebut
memiliki kedudukan dominan dibandingkan dengan partai lain.
2. Sistem dwi-partai
Pada
sistem dwi-partai, partai-partai politik dibagi menjadi dua kelompok utama,
yaitu partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai
oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Partai yang kalah berperan sebagai
pengecam utama terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan.
3. Sistem Multi-Partai
Sistem
mult-partai memiliki banyak jenis partai politik didalamnya. Keanekaragaman
ras, agama atau suku bangsa yang kuat membuat masyarakat cenderung untuk
menyalurkan ikatan-ikatan terbatas yang mereka miliki ke dalam satu wadah saja.
Sistem multi-partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik
daripada pola dwi-partai
D.
Fungsi Partai Politik
Fungsi
partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini
dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka
bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam
kebijakan pemerintah.
Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya adalah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi:
- Agregasi kepentingan – fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.
- Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama.
- Staffing government – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik baru maupun menggantikan yang lama.
- Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah – fungsi ini adalah posisi partai politik mengkoordinasi aneka lembaga pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
- Mempromosikan stabilitas politik – fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.
Penulis lain, misalnya Janos Simon membagi fungsi partai politik menjadi 6, yaitu :
(1) Fungsi sosialisasi politik;
(2)
fungsi mobilisasi politik;
(3)
fungsi representasi politik;
(4)
fungsi partisipasi politik;
(5)
fungsi legitimasi sistem politik, dan
(6)
fungsi aktivitas dalam sistem politik.
Fungsi sosialisasi politik mulai signifikan ketika seseorang sudah mampu menilai keputusan dan tindakannya. Orang tersebut kemudia mencari “figur” yang dianggap mewakili norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu lembaga yang menyediakan nilai tersebut adalah partai politik. Sebab itu, partai politik berfungsi sebagai agen guna mengisi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada diri individu. Peran ini semakin besar di negara-negara dengan sistem kepartaian multipartai.
Fungsi mobilisasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan dari mobilisasi ini adalah : Mengurangi ketegangan sosial yang ditampakkan oleh kelompok-kelompok yang termobilisasi; Mengelaborasi program-program untuk menurunkan ketegangan tersebut, dan sebagai hasilnya kelompok-kelompok tersebut mengalihkan dukungannya kepada partai politik, dan; Membangun struktur kelompok yang akan menjadi basis pendukung partai yang bersangkutan.
Fungsi partisipasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara agar aktif dalam kegiatan politik. Jenis partisipasi politik yang ditawarkan partai politik kepada warganegara adalah kegiatan kampanye, mencari dana bagi partai, memilih pemimpin, demonstrasi, dan debat politik.
Fungsi legitimasi mengacu pada kebijakan partai politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah maupun eksistensi sistem politik. Seperti diketahui, partai politik memiliki massa pemilih. Jika partai memilih untuk mendukung sesuatu, maka kemungkinan besar pemilihnya akan melakukan hal yang sama.
Fungsi representasi adalah fungsi klasik partai politik. Partai politik yang ikut pemilihan umum dan memenangkan sejumlah suara, akan menempatkan wakilnya di dalam parlemen. Anggota partai yang masuk ke dalam parlemen ini membawa fungsi representasi dari warganegara yang memilih partai tersebut.
Fungsi aktivitas dalam sistem politik didasarkan pada premis, partai politik menjabarkan programnya dan menyiapkan anggota-anggotanya untuk menjalankan program tersebut. Jika partai tersebut mengantungi suara dalam pemilu, maka anggota-anggotanya tersebut akan masuk ke dalam parlemen. Anggota partai yang bersangkutan tersebut kemudian beraktivitas (secara politik) untuk menjalankan program-program partai. Aktivitas pemerintahan (khususnya parlemen) menjadi berjalan akibat adanya partai politik tersebut.
E.
Tipe Partai Politik
Tipe-tipe partai politik dari
para ahli cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi
tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada
yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang
ideologi, dan sebagainya.
Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Partai Elit – Partai jenis
ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan
partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak
buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di
kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai
ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang
biasanya terbentuk di dalam parlemen.
2. Partai Massa – Partai jenis
ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap
tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa
pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas
sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama.
Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang
ideologi atau kebijakan.
3. Partai Catch-All – Partai jenis
ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan
partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All
mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk
berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut
sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
4. Partai Kartel - Partai jenis
ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini
berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut,
pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup
untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih
hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5. Partai Integratif - Partai jenis
berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi
politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu
kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan
membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari
iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang
dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
I. Mengenal Ilmu Politik Kontemporer
Dapat dibedakan
antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik dengan hasil yakni
karakteristik ilmu politik kontemporer :
- Suatu kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinisme dan hukum kausasi universal. Dimana pengetahuan berbentuk hubungan sebab akibat dan menjadi pengetahuan yang ilmiah.
- Dalam ilmu politik kontemporer kajian membedakan antara fakta dengan nilai. Fakta nantinya akan diperoleh dari obsevarsi empirik yang bisa diuji kebenarannya. Dan nilai yang setara dengan ;penalaran dan konflik sehingga nilai tanpa membuat penilaian yang satu dengan yang lainnya terpengaruhi.
- Melalui ilmu politik kontemporer suatu masalah dapat dianalisis, menjelaskan permasalahan atau suatu fenomena serta meramalkan peristiwa=peristiwa kedepannya.
- Dalam ilmu politik kontemporer ilmuawan dengan nilai sendiri berlaku sebagai pengamat politik tidak bertindak sebagai aktor politik
- Memberikan pertimbangan nilai yang instrumental bukan berdasarkan nilai dasar dan tujuan masyarakat
Karakteristik
ilmu politik klasik :
- Kajian bersifar normatif-preskriptif, berdasarkan prinsip preferensi yang dipandang tertinggi dalam politik
- Fakta dan nilai merupakan entitas yang berkaitan erat.
- Memulai kajian dari pengetahuan akal sehat sehingga nantinya menjadi pengetahuan yang ilmiah.
- Pernyataan normaif dapat diuji melalui dialektikadalam bentuk verbal bukan tindakan
- Rekomendasi diberikan berdasarkan tujuan dan nilai terbai maupun sarana dan cara terbaik untuk mencapai tujuan itu.
- Ilmuwan politik dalam ilmu politik klasik dianjurkan mengalami realitas politik untuk memahami dan membuat refleksi atas realitas politik.
Melalui perbedaan karakteristik
antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik dapat ditarik
kesimpulan bahwa hanyalah tolak ukur the best regime yang menjadi perbedaan dan
Marciavelli merupakan penejmbatan kedua paradigma ini. Selain dapat mengetahui
perbedaaan antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik kita juga
bisa mengamati perbedaan ilmu politik klasik dengan modern. Diantaranya,
bahwanya ilmu politik klasik mengkritik ilmu politik modern yang dianggap
menyembunyikan asumsi normatif dan preskriptifnya dan lebih memperhatikan
metodologi dari pada substansinya sehingga ilmu [politik modern tidak mampu
menjawab pertanyaan fundamental ilmu politik. Hal ini dicontohkan dalam
pandangan aristoteles mengenai konflik antara oligarhi dan demokrasi.
Senada dengan itu Strauss
mengatakan bahwa ilmu politik modern mau tidak mau mengubah dirinya menjadi
historisme, hal ini dikarenakan penelaahaan budaya ilmu politik modern yang
didasarkan pada konseptual yang berasal dari sistem politik barat sehingga
tidak sesuai dengan budaya lainnya. Selain itu dengan membedakan nilai dan
fakta ilmu poliytik modern menjadikan ilmu politik sekedar variabel dependen. Agar
perbedaan sub kajian antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik
penulis menyertai dengan kajain kritis tentang demokrasi. Melalui demokrasi
yang ditulis oleh hutington dapat dijadikan kajian untuk kajian ilmu politik
yakni, demokrasi dipahami melalui 3 hal yaitu sumber kewenangan bagi
pemerintahan, tujuan yang hendak dicapai pemerintah dan prosedur pembentukan
pemerintahan. Melalui 3 bagian itu sumber dan tujaun merupakan kajian ilmu politik
klasik sehingga disebut ilmu demokrasi klasik dan prosedur menjadi kajian ilmu
politik kontemporer.
Dalam
bahan singakt ini terdapat paradigam alam kajian perbandingan politik, Sidney
Verba secara retrospektif menyebt beberapa prestasi dicapai perbandingan
politik sebagai subbidang kajian ilmu politik yakni :
- Lingkup perbandingan politik yang telah mencakup dunia ketiga.
- Kajian mendalam yang bersifat interdisiplin terhadap suatu negara.
- Penggunaan metode behavioral dalam ilmu politik yang semakin luas.
- Perhatian yang lebih besar atas generalisasi sebagai tujuan utama kajian ilmu sosial.
- Teori liberal-pluralis mengenai pembangunan semakin diperkaya.
Interelasi antara faktor ekonomi dan politik yang
dimodifikasi untuk menjelaskan perilaku politik Semakin menaruh perhatian pada
logika perbandingan sebagai metodologi dan design penelitian. Tidak saja
prestasi tentunya juga ada kelemahan dari perbandingan politik yakni :
- Analisis dan datanya tidak berdasarkan teori dan karena itu tidak bersifat prediktif.
- Kajian perilaku an institusi politi terlalu berorientasi pada Barat.
- Hanya sejumlah kecil pernyataan menegnai perilaku politik manusia dan lembaga politik lintas ruang dan budaya yang mendapat dukungan data empirik.
Melalui perbandingan politik ini terdapat ketidak puasan
sehingga memunculkan kredo pascabehavioral yangf mengandung tema yakni :
- Subtansi mendahului teknik sehingga permasalahan penting masyakrakat menjadi utama daripada metodologi.
- Behavioralisme secara ideologik bersifat konservatif.
- ilmu tidak dapat dievaluasi secara netral, fakta tidak bisa dipisahkan dari nilai,
- ntelektual harus bertanggung jawab kepada masyarakat.
Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia
yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di dalam
kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan kelompok
ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal
yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi,
lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri
ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan “kiri” dan
“sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini.[3]
Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah
kegagalan membangun organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum
kiri dan sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema
organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform
perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi
abstrak” menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas,
selain persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan.
Karena
itu, dengan gampang desain kaum liberal “diterima” menjadi desain baru sistem
politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan
skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide
neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal
sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya
kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat berada di pinggiran.
Dalam
posisi seperti ini lah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana
dominasi kaum liberal menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang
memang merupakan pemain lama di dalam pentas politik dan ekonomi nasional (saya
menyebutnya sebagai “broker politik dan ekonomi” suatu istilah yang mungkin
secara akademik kurang tepat). Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem
politik menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya
terhadap perubahan institusi dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan
praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan
sosial-demokrat.
II.
Beberapa model
analisa sistem politik
Meminjam pemikiran Gabriel Almond mengenai sistem politik
dan kinerjanya, ia menjelaskan bahwa terdapat 5 kapabilitas yang menjadi
penilaian prestasi sebuah sistem politik:
Kapabilitas
Ekstraktif, yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan
sumber daya manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Kemampuan
SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal
oleh pemerintah, seperti bagaimana pemerintah mengelola pertambangan berhadapan
dengan modal domestik mau pun asing dan kepentingan kemakmuran rakyat di sisi
yang lain. Sementara kemampuan
pengelolaan SDM akan berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, peningkatan
sumber daya, pengalokasian SDM dan lain-lain. Tentu saja, pada akhirnya kedua dimensi
kemampuan pengelolaan potensi SDA dan SDM harus dipadukan ke dalam satu tujuan,
yakni kemaslahatan bangsa di mana sistem politik itu bekerja.
Kapabilitas
Distributif yakni merujuk kepada kemampuan melakukan alokasi dan distribusi
sumber-sumber ekonomi, penghargaan, status, dan kesempatan untuk semua lapisan
masyarakat. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa
untuk dapat didistribusikan secara merata, dalam rangka penciptaan keadilan
sosial. Pada saat yang sama distribusi sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan serta
mobilitas sosial juga penting diperlihatkan oleh kapabilitas distributif ini.
Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali
didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem dan struktur
perpajakan, dengan demikian, akan memengaruhi corak kenegaraan, apakah bisa
dikatakan lebih adil atau kurang adil, lebih mampu menjalankan kapabilitas
distributif atau malah gagal.
Kapabilitas
Regulatif (pengaturan) yang merujuk kepada aliran kontrol atas perilaku
individu dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Dalam
menyelenggarakan pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan
adanya pengaturan, di mana negara memainkan peranan penting di dalam mengatur
dan menjamin hak-hak individu dan kelompok.
Kapabilitas
simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif
membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan
yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sebuah sistem
politik.
Kapabilitas
responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output.
Output berupa kebijakan pemerintah dapat dikur dari sejauh mana kebijakan
tersebut dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat (sebagai
inputnya). Di sini, agak sedikit berbeda dengan kapabilitas simbolik, yang
paling pokok bukan lah didapatkannya benang merah antara kebijakan dengan
tuntutan/aspirasi masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana proses pembuatan
kebijakan itu sendiri, yakni pelembagaan mekanisme agregasi dan artikulasi
politik kepentingan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan politik. Jadi, bukan
sekedar melihat apakah Output kebijakan paralel dengan aspirasi/tuntutan
masyarakat (kemampuan menangkap wacana aspirasi), tetapi apakah di dalam sistem
politik tersebut telah terlembagakan suatu mekanisme dimana rakyat dapat lebih
mudah dan lebih mungkin untuk terlibat di dalam tahapan-tahapan pembuatan
kebijakan.
Kapabilitas
ini sekaligus dapat diukur dari kemampuan menyahuti perkembangan tuntutan dalam
negeri dan internasional. Kapabilitas ini juga berhubungan dengan perkembangan
globalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan.
Sedikit
berbeda, David Easton menawarkan pendekatan lain yang melihat politik sebagai
organisme yang dinamis, terus bergerak dan berubah dan tidak selalu menuju satu
titik equilibrium. Namun, Easton tetap melihat sistem politik merujuk pada
pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam
situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan. Dengan demikian, analisa Easton akan
menitikberatkan pandangan tentang bagaimana sistem politik berinteraksi dengan
lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.
Kajian sistem politik, dengan begitu, akan dilihat
dari tiga dimensi yakni polity,
politics, dan policy
(kebijakan). Dimensi polity
diambil dari dimensi formal politik, yaitu struktur dan norma, serta pengaturan
mengenai institusi-institusi mana yang semestinya ada di dalam politik. Dimensi
politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada bagaimana proses membuat
keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dalam hal
ini yang menjadi penekanan adalah siapa yang dapat memaksakan kepentingan,
bagaimana mekanisme pengaturan untuk mengatasi konflik sehingga didapatkan
suatu consensus yang
mengakomodasi berbagai kepentingan yang beragam. Akhirnya adalah dimensi policy atau kebijakan
sebagai dimensi politik, yang melihat substansi dan cara pemecahan masalah
berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan
keputusan yang mengikat bagi semua. Bagaimana pun, titik berat dari pandangan
Easton, meski berbeda dengan cara pandang Almond di dalam menganalisa sistem
politik, tetap lah menyangkut kepada efektifitas suatu sistem politik di dalam
menjalankan fungsi-fungsinya menjawab tantangan dalam negeri dan luar negeri.
Karena itu, dengan pendekatan “Input – Proses – Out
Put – Easton akhirnya bisa membedakan antara sistem politik yang bekerja secara
efektif dengan sistem politik yang disfungsional karena kegagalan mengakomodasi
elemen-elemen Input; kegagalan memposes tuntutan-tuntutan atau aspirasi yang
beragam atau bahkan bertentangan; kegagalan melahirkan suatu kebijakan atau
keputusan responsif dan diterima banyak pihak; serta kegagalan menciptakan
suatu dinamika politik yang mampu menjawab tantangan dalam dan luar yang terus
berubah (dinamis).
Tentu saja, kedua kajian mengenai sistem politik ini
tidak bisa dipisahkan dari pendekatan lain yakni budaya politik dan sejarah.
Untuk kasus Indonesia, dimensi-dimenasi kesejarahan mulai dari jaman
kerajaan-kerajaan, kolonialisme, masa kemerdekaan (liberal-parlementer,
presidensial dan demokrasi terpimpin, serta masa otoritarian-militeristik Orde
Baru) mau pun masa transisi demokrasi pasca reformasi akan ikut mempengaruhi
proses pembentukan sistem politik di Indonesia. Sama halnya dengan dimensi
kultural yang ikut mempengaruhi pembentukan dan implementasi sistem politik.
Dengan demikian, kata kuncinya adalah kapabiltas dari
sistem politik menyahuti tuntutan-tuntutan masa kini dan masa depan, tuntutan
dari dalam mau pun dari luar negara, dalam rangka menghadirkan collective will,
kehendak bersama yang setara untuk hidup sejahtera dan adil. Dalam posisi
seperti ini lah sistem politik harus didesain yang kemudian berakibat pada
aspek normatif yang mesti dibangun, struktur dan kelembagaan apa dan dengan
fungsi-fungsi apa saja yang dibutuhkan, pola interaksi politiknya, sistem
kepartaian dan pemilu, model-model kebijakan, model desentralisasi dlsb.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan mendasar menyangkut
ide negara, demokrasi dan keadilan sosial, baik yang dimunculkan oleh kaum
liberal mau pun sosialis (serta kaum sosial-demokrat), pada dasarnya semua
aliran ini membayangkan suatu sifat demokrasi dimana partisipasi politik rakyat
diakomodasi. Dalam arti, universal
suffrage menjadi issu bersama di mana jaminan kesetaraan hak-hak
dasar politik menjadi penting. Mereka percaya kepada ide kedaulatan rakyat
karena secara filosofis semua pihak mengakui konsep dasar filosofis demokrasi
berarti suatu pemerintahan yang lahir dari pemikiran dan praktek politik Yunani
kuno: pemerintahan untuk
orang tertindas, pemerintahan untuk rakyat banyak atau pemerintahan untuk kaum
miskin (government for the many, for the poor, for the disadvantaged).
0 Response to "Partai Politik di Indonesia"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !