-->

Top Ad Slot (728x90)

Partai Politik di Indonesia



 Hasil gambar untuk sistem politik indonesia

Partai Politik di Indonesia

A.  Pengertian Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang menyangkut soal kekuasaan. Secara umum ilmu politik ialah ilmu yang mengkaji tentang hubungan kekuasaan, baik sesama warga negara, antar warga negara dan negara, maupun hubungan sesama negara. Yang menjadi pusat kajiannya adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan tersebut dan juga bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan.
                Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 konsep berbeda. Sistem kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.
                Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya. Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami, bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain.
                Komunis adalah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan. Negara-negara yang masih menganut sistem politik komunis ini adalah Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Cina. Di negara-negara tersebut, Partai Komunis adalah satu-satunya partai yang berkuasa dan boleh berdiri.
                Otoritarian Kontemporer adalah sistem politik dalam mana personalitas pemerintah (presiden dan pendukungnya) sangat besar. Dalam Otoritarian Kontemporer, biasanya ada satu partai dominan dan beberapa partai “figuran.” Pemerintah mengontrol keberadaan partai-partai politik dan mengintervensi jika terdapat masalah dalam struktur internal partai. Indonesia di masa Orde Baru mencirikan hal ini, di mana Golkar menjadi partai dominan, sementara PPP dan PDI selaku partai “figurannya.” Negara lain yang memberlakukan sistem ini adalah Singapura dan Malaysia.
                Kediktatoran Militer adalah pemerintahan yang dikuasai sebuah faksi militer. Kediktatoran Militer biasanya muncul ketika militer menilai politisi sipil tidak mampu menyelesaikan masalah yang telah berlarut-larut. Militer (salah satu faksinya) kemudian melakukan kudeta dan langsung memerintah tanpa memperhatikan partai-partai politik yang ada. Pemerintahan yang muncul ini menyerupai “darurat perang”, sehingga mustahil partai politik dapat beraktivitas secara leluasa. Myanmar dan Pakistan di bawah Jenderal Musharraf adalah contoh dari kediktatoran militer ini.
B.      Partai Politik

                Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga  demokrasi.  Artinya,  tak  ada  demokrasi  tanpa  partai  politik. Karena  begitu pentingnya peran partai politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan   mengenai   partai   politik.   Peraturan   perundang-undangan   ini diharapkan  mampu  menjamin  pertumbuhan  partai  politik  yang  baik,  sehat,  efektif  dan fungsional.
                Dengan kondisi partai politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk  melaksanakan  rekrutmen  pemimpin  atau  proses  pengkaderan,  pendidikan  politik dan  kontrol  sosial  yang  sehat.  Dengan  partai  politik  pula,  konflik  dan  konsensus  dapat tercapai  guna  mendewasakan  masyarakat.  Konflik  yang  tercipta  tidak  lantas  dijadikan alasan  untuk  memecah  belah  partai,  tapi  konflik  yang  timbul  dicarikan  konsensus  guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.
                Pentingnya  keberadaan  partai  politik  dalam  menumbuhkan  demokrasi  harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya partai politik yang berhak  mengajukan  calon  dalam  pemilihan  umum.  Makna  dari  ini  semua  adalah, bahwa proses  politik  dalam  pemilihan  umum  (Pemilu),  jangan  sampai  mengebiri  atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi partai politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap partai politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi  partai  dalam  sistem  ketatanegaraan.  Semua  yang  terjadi  sekarang  hanyalah bagiandari proses demokrasi.
                Menumbuhkan   partai   politik   yang   sehat   dan   fungsional   memang   bukan perkara  mudah.  Diperlukan  sebuah  landasan  yang  kuat  untuk  menciptakan  partai  politik yang   benar-benar   berfungsi   sebagai   alat   artikulasi   masyarakat.   Bagi   Indonesia, pertumbuhan partai  politik  telah  mengalami  pasang  surut.  Kehidupan  partai  politik  baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu  itu  seperti  Budi  Oetomo  belum  bisa  dikatakan  sebagaimana  pengertian  partai politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara  (public  office)  di  dalam  persaingan  melalui  pemilihan  umum.  Juga  tidak  dalam arti  organisasi  yang  berusaha  mengendalikan  proses  politik.  Budi  Oetomo  dalam  tahun-tahun  itu  tidak  lebih  dari  suatu  gerakan  kultural,  untuk  meningkatkan  kesadaran  orang-orang Jawa.
                Perkembangan    partai    politik    kembali    menunjukkan    geliatnya    tatkala pemerintah   menganjurkan   perlunya   di   bentuk   suatu   partai   politik.   Wacana  yang berkembang  pada  waktu  itu  adalah  perlunya  partai  tunggal.  Partai  tunggal  diperlukan untuk  menghindari  perpecahan  antar  kelompok,  karena  waktu  itu  suasana  masyarakat Indonesia masih diliputi semangat revolusioner. Tapi niat membentuk partai tunggal yang rencananya   dinamakan   Partai   Nasional   Indonesia   gagal,   karena   dianggap   dapat menyaingi  Komite  Nasional  Indonesia  Pusat  dan  dianggap  bisa  merangsang  perpecahan dan bukan memupuk persatuan. Pasca pembatalan niat pembentukan partai tunggal, atas desakan  dan  keputusan  Badan  Pekerja  Komite  Nasional  Indonesia  Pusat,  pemerintah mengeluarkan  maklumat  yang  isinya  perlu  di  bentuk  partai  politik  sebanyak-banyaknya guna menyambut pemilihan umum anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat.
                Semangat   kekaryaan   yang   terwujud   dalam   bentuk   pengakuan   terhadap golongan  karya  bibitnya  telah  tumbuh  ketika  pembahasan  UUD  1945  sedang  dialkukan. Namun  kedudukannya  secar  formal  belum  diatur  dengan  tegas  pada  awal  kemerdekaan, hingga keluarnya Maklumat Wakil Presiden.
                Pada  tanggal  16  Oktober  1945  keluar  Maklumat  Wakil  Presiden  Nomor  X yang  susul  kemudian  dengan  Maklumat  Pemerintah  tanggal  3  November  1945,  yang memberikan kesempatan mendirikan partai-partai politik dengan ideologi yang beraneka ragam.
                Pada  keadaan  seperti  itulah  partai  politik  tumbuh  dan  berkembang  selama revolusi   fisik   dan   mencapai   puncaknya   pada   tahun   1955   ketika   diselenggarakan pemilihan  umum  pertama  yang  diikuti  oleh  36  partai  politik,  meski  yang  mendapatkan kursi  di  parlemen  hanya 27  partai.  Pergolakan-pergolakan  dalam  Dewan  Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan posisi partai politik.  Hampir  semua  tokoh,  golongan  mempermasalahkan  keberadaan  partai  politik. Kekalutan  dan  kegoncangan  di  dalam sidang  konstituante  inilah  yang  pada  akhirnya memaksa  Bung  Karno  membubarkan  partai-partai  politik,  pada  tahun  1960,  dan  hanya boleh  tinggal  10  partai  besar  yang  pada  gilirannya  harus  mendapatkan  restu  dari  Bung Karno sebagai tanda lolos dari persaingan.
Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya partai politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada  tahun  1973,  partai  yang  diperbolehkan  tumbuh  hanya  berjumlah  tiga  yaitu  Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
                Nampak  sekali  bahwa  partai-partai  yang ada  di  Indonesia  boleh  dikatakan merupakan  partai  yang  dibentuk  atas  prakarsa  negara.  Pembentukan  partai  bukan  atas dasar   kepentingan   masing-masing   anggota   melainkan   karena   kepentingan   negara. Dengan  kondisi  partai  seperti  ini,  sulit  rasanya  mengharapkan partai  menjadi  wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan partai politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan  sistem  multi-partai  ini  sebagai  titik  awal  pertumbuhan  partai  yang  didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
                Kondisi  yang  demikian  ini  perlu  dipertahankan,  karena  partai  politik  adalah alat  demokrasi  untuk  mengantarkan  rakyat  menyampaikan  artikulasi  kepentingannya. Tidak ada  demokrasi  sejati  tanpa  partai  politik.  Meski  keberadaan  partai  politik  saat  ini dianggap  kurang  baik,  bukan  berarti  dalam  sistem  ketatanegaraan  kita  menghilangkan peran  dan  eksistensi  partai  politik.  Keadaan  partai  politik  seperti  sekarang  ini  hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Partai  politik  merupakan  keharusan  dalam  kehidupan  politik  pada  saat  ini yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai. Karena itu partai politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan  sebagai  suatu  kelompok  yang  mengajukan  calon-calon  bagi  jabatan  public untuk  dipilih  oleh  rakyat  sehingga  dapat  mengontrol  atau  mempengaruhi  tindakan-tindakan pemerintah.
       
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
        Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infrastruktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni :
  1. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
  2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
  3. Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
  4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
                Robert Michels menyatakan bahwa partai politik, sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengindetifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial yang mereka wakili. Partai sengaja dibentuk sebagai alat untuk mengamankan tujuan. Juga menjadi bagian dari tujuan itu sendiri, memiliki tujuan dan kepentingan di dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah partai, kepentingan massa pemilih yang telah membentuk partai kerap kali terlupakan oleh sebab terhalangi oleh kepentingan birokrasi yang dijalankan pemimpin-pemimpinnya.
                Definisi lain mengenai partai politik diajukan oleh Joseph Schumpeter tahun 1976 dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy. Menurutnya, partai politik adalah kelompok yang anggotanya bertindak terutama dalam hal perjuangan mencapai kekuasaan Partai dan para politisinya merupakan contoh sederhana bagi tanggapan atas ketidakmampuan massa pemilih untuk bertindak selain dari ketidakrapian organisasinya, dan mereka secara nyata berusaha mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan.
Definisi Schumpeter ini cukup sinis, dengan menyatakan bahwa partai politik bisa berperan oleh sebab para pemilih (warganegara) sendiri tidak terorganisasi secara baik untuk memenuhi kepentingannya di dalam negara. Schumpeter juga menganggap partai politik adalah sama seperti pedagang, di mana komoditas yang diperjualbelikan adalah isu politik yang dibayar dengan pemberian suara oleh para pemilih.
                Karena  itu  partai  politik  merupakan  media  atau  sarana  partisipasi  warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa  yang  menjadi  penyelenggara  negara  pada  berbagai  lembaga  negara  di  pusat  dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi sernua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat  pula  menjadi  sarana  integrasi  nasional.  Dengan  menggunakan  ideologi  partai sebagai pelita penunjuk arah, para pengurus dan aktivis partai berupaya menampung dan mengagregasikan  aspirasi  anggota,  simpatisan,  dan  rakyat  pada  umumnya  menjadi alternatif kebijakan publik untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif. Karena  itu  ideologi  suatu  partai  ataupun  ideologi  yang  dianut  politisi  dapat  dikhat  pada pola  dan  arah  kebijakan  yang  diperjuangkannya  dalam  pembuatan  APBN/APBD,  pada pernyataan politik yang dikemukakan untuk menanggapi persoalan yang dihadapi negara-bangsa,  pada  respon  yang  diberikan  terhadap  aspirasi  yang  diajukan  oleh  berbagai kelompok  dalam  masyarakat,  pada  pola  dan  arah  peraturan  perundang-undangan  yang diperjuangkannya,   dan   pada   sosok   dan   profile   orang-orang   yang   diusulkan   atau dipilihnya  untuk  menduduki  berbagai  jabatan  kenegaraan  di  pusat  dan  daerah.  Untuk memperjuangkan cita-cita partai dan aspirasi rakyat yang diagregasikan berdasarkan cita-cita  partai  itu,  partai   politik  mencari  dan  mempertahankan  kekuasaan  di  lembaga legislatif  dan  eksekutif  melalui  pemilihan  umum  dan  cara  lain  yang  diatur  dalam peraturan perundang-undangan.
C.      Sejarah Perkembangan Partai Politik
Partai telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang sudah mapan seperti gereja atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 pada saat menumbangkan kekaisaran Tsar.
Pada awal abad ke-19 gereja katolik di Eropa menyatukan diri pada pemerintahan demokrasi, dan pemilihan sebagai sarana demokrasi dilaksanakan dengan jalan membentuk partai Kristen Demokrat yang secara bertahap melepaskan orientasi keagamaan mereka demi organisasi, program, dan panggilan partai. Langkah ini kemudian diikuti oleh pembentukan partai Sosialis yang meninggalkan cara revolusi untuk mengadakan perombakan. Setelah Perang Dunia Kedua, partai komunis mengalami hal yang sama. Sisi tajam revolusi sebagai ciri partai komunis menjadi tumpul. Di beberapa negara yang baru merdeka, partai politik muncul dengan misi menanamkan partisipasi dan kesadaran politik pada masyarakat yang merasa tidak puas dan terasingkan.
Tahap kedua perkembangan partai politik muncul setelah pertengahan abad ke-19. Pertama, perluasan daerah lingkup pemilihan di Amerika sekitar pertengahan tahun 1830-an dan antara 1848-1870, dan pada waktu yang hampir bersamaan juga terjadi di Jerman dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Abad ke-19 adalah abad politik, di mana masalah-masalah politik seperti pemilihan umum, kebebasan membentuk asosiasi, hubungan antara gereja dan negara, dab perkembangan instrumen demokrasi itu sendiri, telah menjadi isu utama dan perdebatan.
Tahap ketiga perkembangan parta-partai terjadi pada sebelum dan sesudah akhir abad ke-19. Pada periode ini Maurice Duverger secara jitu mengkaitkan pertumbuhan dari apa yang disebut partai-partai diluar parlemen (extra parliamentary parties). Cikal bakal organisasi tersebut sumbernya bukan berasal dari parlemen melainkan dari orang-orang yang tidak senang terhadap parlemen.
Keyakinan dan disiplin kaku menyertai munculnya partai-partai komunis Eropa Barat, yang didirikan setelah Perang Dunia I. Partai komunis pada dasarnya merupakan kombinasi antara seorang tentara dan sebuah gereja, keras pendirian, berdisiplin tinggi dan seringkali menentukan secara efektif komitmen dan loyalitas penuh para anggota secara individual.
Setelah Perang Dunia II, semua partai politik Dunia Barat dan negeri industri maju (termasuk Uni Soviet dan Jepang) mulai menampakkan beberapa karakteristik baru. Semua partai menjadi semacam pedagang perantara (broker) dari suatu masyarakat yang terjadi karena kemajuan industri. Oleh karena itu partai menjadi lebih representatif dan lebih reformis. Partai tidak lagi berusaha menyelesaikan isu dengan penyelesaian total  yang mencakup struktur sosial dan ekonomi masyarakat tetapi lebih dengan kompromi dan perubahan sedikit demi sedikit.
Kondisi-kondisi di mana partai lahir dan berkembang di Barat jauh berbeda dengan kemunculan partai-partai di negara baru. Partai politik di negara bekas jajahan muncul untuk mengatasi masalah-masalah, yang pihak barat (pemerintah kolonial) tidak terlibat secara langsung. Serangkaian masalah tersebut adalah emansipasi dan identitas nasional, pembuatan nilai-nilai (aturan) tentang pelaksanaan partisipasi politik, penciptaan lembaga baru yang legitimate (absah), pembentukan norma-norma baru yang mendukung dan pembentukan lembaga pemerintah yang membagi ganjaran sementara menarik dukungan.
Perbedaan antara Barat dan negara-negara baru sangatlah mudah. Di negara baru, tidak adanya sistem yang mendukung terciptanya partai politik, tidak ada legitimasi prosedur pemerintahan yang memungkinkan partai dapat beroperasi dan yang dapat didukung oleh partai yang hanya sedikit berpengalaman dengan sistem pemerintahan perwakilan dan tidak adanya pengertian umum yang mendefinisikan hak-hak umum tertentu secara terbatas.
D. Sistem Kepartaian
1.    Sistem partai tunggal
Merupakan sistem dimana hanya ada satu partai didalam satu negara. Partai tersebut memiliki kedudukan dominan dibandingkan dengan partai lain.
2.    Sistem dwi-partai
Pada sistem dwi-partai, partai-partai politik dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan.
3.    Sistem Multi-Partai
Sistem mult-partai memiliki banyak jenis partai politik didalamnya. Keanekaragaman ras, agama atau suku bangsa yang kuat membuat masyarakat cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas yang mereka miliki ke dalam satu wadah saja. Sistem multi-partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada pola dwi-partai
D.      Fungsi Partai Politik
Fungsi partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah.

Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya adalah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi:
  1. Agregasi kepentingan – fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.
  2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama.
  3. Staffing government – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik baru maupun menggantikan yang lama.
  4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah – fungsi ini adalah posisi partai politik mengkoordinasi aneka lembaga pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
  5. Mempromosikan stabilitas politik – fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.

Penulis lain, misalnya Janos Simon membagi fungsi partai politik menjadi 6, yaitu :
 (1) Fungsi sosialisasi politik;
(2) fungsi mobilisasi politik;
(3) fungsi representasi politik;
(4) fungsi partisipasi politik;
(5) fungsi legitimasi sistem politik, dan
(6) fungsi aktivitas dalam sistem politik.

Fungsi sosialisasi politik mulai signifikan ketika seseorang sudah mampu menilai keputusan dan tindakannya. Orang tersebut kemudia mencari “figur” yang dianggap mewakili norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu lembaga yang menyediakan nilai tersebut adalah partai politik. Sebab itu, partai politik berfungsi sebagai agen guna mengisi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada diri individu. Peran ini semakin besar di negara-negara dengan sistem kepartaian multipartai.

Fungsi mobilisasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan dari mobilisasi ini adalah : Mengurangi ketegangan sosial yang ditampakkan oleh kelompok-kelompok yang termobilisasi; Mengelaborasi program-program untuk menurunkan ketegangan tersebut, dan sebagai hasilnya kelompok-kelompok tersebut mengalihkan dukungannya kepada partai politik, dan; Membangun struktur kelompok yang akan menjadi basis pendukung partai yang bersangkutan.

Fungsi partisipasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara agar aktif dalam kegiatan politik. Jenis partisipasi politik yang ditawarkan partai politik kepada warganegara adalah kegiatan kampanye, mencari dana bagi partai, memilih pemimpin, demonstrasi, dan debat politik.

Fungsi legitimasi mengacu pada kebijakan partai politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah maupun eksistensi sistem politik. Seperti diketahui, partai politik memiliki massa pemilih. Jika partai memilih untuk mendukung sesuatu, maka kemungkinan besar pemilihnya akan melakukan hal yang sama.

Fungsi representasi adalah fungsi klasik partai politik. Partai politik yang ikut pemilihan umum dan memenangkan sejumlah suara, akan menempatkan wakilnya di dalam parlemen. Anggota partai yang masuk ke dalam parlemen ini membawa fungsi representasi dari warganegara yang memilih partai tersebut.

Fungsi aktivitas dalam sistem politik didasarkan pada premis, partai politik menjabarkan programnya dan menyiapkan anggota-anggotanya untuk menjalankan program tersebut. Jika partai tersebut mengantungi suara dalam pemilu, maka anggota-anggotanya tersebut akan masuk ke dalam parlemen. Anggota partai yang bersangkutan tersebut kemudian beraktivitas (secara politik) untuk menjalankan program-program partai. Aktivitas pemerintahan (khususnya parlemen) menjadi berjalan akibat adanya partai politik tersebut.

E.       Tipe Partai Politik
Tipe-tipe partai politik dari para ahli cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.

Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:
1.       Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.
2.       Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.
3.       Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
4.       Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5.       Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.

I.            Mengenal Ilmu Politik Kontemporer

                Dapat dibedakan antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik dengan hasil yakni karakteristik ilmu politik kontemporer :
  1. Suatu kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinisme dan hukum kausasi universal. Dimana pengetahuan berbentuk hubungan sebab akibat dan menjadi pengetahuan yang ilmiah.
  2. Dalam ilmu politik kontemporer kajian membedakan antara fakta dengan nilai. Fakta nantinya akan diperoleh dari obsevarsi empirik yang bisa diuji kebenarannya. Dan nilai yang setara dengan ;penalaran dan konflik sehingga nilai tanpa membuat penilaian yang satu dengan yang lainnya terpengaruhi.
  3. Melalui ilmu politik kontemporer suatu masalah dapat dianalisis, menjelaskan permasalahan atau suatu fenomena serta meramalkan peristiwa=peristiwa kedepannya.
  4. Dalam ilmu politik kontemporer ilmuawan dengan nilai sendiri berlaku sebagai pengamat politik tidak bertindak sebagai aktor politik
  5. Memberikan pertimbangan nilai yang instrumental bukan berdasarkan nilai dasar dan tujuan masyarakat
Karakteristik ilmu politik klasik :
  1. Kajian bersifar normatif-preskriptif, berdasarkan prinsip preferensi yang dipandang tertinggi dalam politik
  2. Fakta dan nilai merupakan entitas yang berkaitan erat.
  3. Memulai kajian dari pengetahuan akal sehat sehingga nantinya menjadi pengetahuan yang ilmiah.
  4. Pernyataan normaif dapat diuji melalui dialektikadalam bentuk verbal bukan tindakan
  5. Rekomendasi diberikan berdasarkan tujuan dan nilai terbai maupun sarana dan cara terbaik untuk mencapai tujuan itu.
  6. Ilmuwan politik dalam ilmu politik klasik dianjurkan mengalami realitas politik untuk memahami dan membuat refleksi atas realitas politik.
                Melalui perbedaan karakteristik antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik dapat ditarik kesimpulan bahwa hanyalah tolak ukur the best regime yang menjadi perbedaan dan Marciavelli merupakan penejmbatan kedua paradigma ini. Selain dapat mengetahui perbedaaan antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik kita juga bisa mengamati perbedaan ilmu politik klasik dengan modern. Diantaranya, bahwanya ilmu politik klasik mengkritik ilmu politik modern yang dianggap menyembunyikan asumsi normatif dan preskriptifnya dan lebih memperhatikan metodologi dari pada substansinya sehingga ilmu [politik modern tidak mampu menjawab pertanyaan fundamental ilmu politik. Hal ini dicontohkan dalam pandangan aristoteles mengenai konflik antara oligarhi dan demokrasi.
                Senada dengan itu Strauss mengatakan bahwa ilmu politik modern mau tidak mau mengubah dirinya menjadi historisme, hal ini dikarenakan penelaahaan budaya ilmu politik modern yang didasarkan pada konseptual yang berasal dari sistem politik barat sehingga tidak sesuai dengan budaya lainnya. Selain itu dengan membedakan nilai dan fakta ilmu poliytik modern menjadikan ilmu politik sekedar variabel dependen. Agar perbedaan sub kajian antara ilmu politik kontemporer dengan ilmu politik klasik penulis menyertai dengan kajain kritis tentang demokrasi. Melalui demokrasi yang ditulis oleh hutington dapat dijadikan kajian untuk kajian ilmu politik yakni, demokrasi dipahami melalui 3 hal yaitu sumber kewenangan bagi pemerintahan, tujuan yang hendak dicapai pemerintah dan prosedur pembentukan pemerintahan. Melalui 3 bagian itu sumber dan tujaun merupakan kajian ilmu politik klasik sehingga disebut ilmu demokrasi klasik dan prosedur menjadi kajian ilmu politik kontemporer.
Dalam bahan singakt ini terdapat paradigam alam kajian perbandingan politik, Sidney Verba secara retrospektif menyebt beberapa prestasi dicapai perbandingan politik sebagai subbidang kajian ilmu politik yakni :
  1. Lingkup perbandingan politik yang telah mencakup dunia ketiga.
  2. Kajian mendalam yang bersifat interdisiplin terhadap suatu negara.
  3. Penggunaan metode behavioral dalam ilmu politik yang semakin luas.
  4. Perhatian yang lebih besar atas generalisasi sebagai tujuan utama kajian ilmu sosial.
  5. Teori liberal-pluralis mengenai pembangunan semakin diperkaya.
Interelasi antara faktor ekonomi dan politik yang dimodifikasi untuk menjelaskan perilaku politik Semakin menaruh perhatian pada logika perbandingan sebagai metodologi dan design penelitian. Tidak saja prestasi tentunya juga ada kelemahan dari perbandingan politik yakni :
  1. Analisis dan datanya tidak berdasarkan teori dan karena itu tidak bersifat prediktif.
  2. Kajian perilaku an institusi politi terlalu berorientasi pada Barat.
  3.  Hanya sejumlah kecil pernyataan menegnai perilaku politik manusia dan lembaga politik lintas ruang dan budaya yang mendapat dukungan data empirik.
Melalui perbandingan politik ini terdapat ketidak puasan sehingga memunculkan kredo pascabehavioral yangf mengandung tema yakni :
  1. Subtansi mendahului teknik sehingga permasalahan penting masyakrakat menjadi utama daripada metodologi.
  2. Behavioralisme secara ideologik bersifat konservatif.
  3. ilmu tidak dapat dievaluasi secara netral, fakta tidak bisa dipisahkan dari nilai,
  4. ntelektual harus bertanggung jawab kepada masyarakat.
                Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan kelompok ideologis lain.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan “kiri” dan “sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini.[3] Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi abstrak” menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan.
                Karena itu, dengan gampang desain kaum liberal “diterima” menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat berada di pinggiran.
                Dalam posisi seperti ini lah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam pentas politik dan ekonomi nasional (saya menyebutnya sebagai “broker politik dan ekonomi” suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang tepat). Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.
II.            Beberapa model analisa sistem politik
Meminjam pemikiran Gabriel Almond mengenai sistem politik dan kinerjanya, ia menjelaskan bahwa terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik:
                Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah, seperti bagaimana pemerintah mengelola pertambangan berhadapan dengan modal domestik mau pun asing dan kepentingan kemakmuran rakyat di sisi yang lain.  Sementara kemampuan pengelolaan SDM akan berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, peningkatan sumber daya, pengalokasian SDM dan lain-lain. Tentu saja, pada akhirnya kedua dimensi kemampuan pengelolaan potensi SDA dan SDM harus dipadukan ke dalam satu tujuan, yakni kemaslahatan bangsa di mana sistem politik itu bekerja.
                Kapabilitas Distributif yakni merujuk kepada kemampuan melakukan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, penghargaan, status, dan kesempatan untuk semua lapisan masyarakat. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, dalam rangka penciptaan keadilan sosial. Pada saat yang sama distribusi sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan serta mobilitas sosial juga penting diperlihatkan oleh kapabilitas distributif ini. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem dan struktur perpajakan, dengan demikian, akan memengaruhi corak kenegaraan, apakah bisa dikatakan lebih adil atau kurang adil, lebih mampu menjalankan kapabilitas distributif atau malah gagal.
                Kapabilitas Regulatif (pengaturan) yang merujuk kepada aliran kontrol atas perilaku individu dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Dalam menyelenggarakan pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan, di mana negara memainkan peranan penting di dalam mengatur dan menjamin hak-hak individu dan kelompok.
                Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sebuah sistem politik.
                Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output. Output berupa kebijakan pemerintah dapat dikur dari sejauh mana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat (sebagai inputnya). Di sini, agak sedikit berbeda dengan kapabilitas simbolik, yang paling pokok bukan lah didapatkannya benang merah antara kebijakan dengan tuntutan/aspirasi masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana proses pembuatan kebijakan itu sendiri, yakni pelembagaan mekanisme agregasi dan artikulasi politik kepentingan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan politik. Jadi, bukan sekedar melihat apakah Output kebijakan paralel dengan aspirasi/tuntutan masyarakat (kemampuan menangkap wacana aspirasi), tetapi apakah di dalam sistem politik tersebut telah terlembagakan suatu mekanisme dimana rakyat dapat lebih mudah dan lebih mungkin untuk terlibat di dalam tahapan-tahapan pembuatan kebijakan.
                Kapabilitas ini sekaligus dapat diukur dari kemampuan menyahuti perkembangan tuntutan dalam negeri dan internasional. Kapabilitas ini juga berhubungan dengan perkembangan globalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan.
                Sedikit berbeda, David Easton menawarkan pendekatan lain yang melihat politik sebagai organisme yang dinamis, terus bergerak dan berubah dan tidak selalu menuju satu titik equilibrium. Namun, Easton tetap melihat sistem politik merujuk pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.  Dengan demikian, analisa Easton akan menitikberatkan pandangan tentang bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.
                Kajian sistem politik, dengan begitu, akan dilihat dari tiga dimensi yakni polity, politics, dan policy (kebijakan). Dimensi polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu struktur dan norma, serta pengaturan mengenai institusi-institusi mana yang semestinya ada di dalam politik. Dimensi politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada bagaimana proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dalam hal ini yang menjadi penekanan adalah siapa yang dapat memaksakan kepentingan, bagaimana mekanisme pengaturan untuk mengatasi konflik sehingga didapatkan suatu consensus yang mengakomodasi berbagai kepentingan yang beragam. Akhirnya adalah dimensi policy atau kebijakan sebagai dimensi politik, yang melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Bagaimana pun, titik berat dari pandangan Easton, meski berbeda dengan cara pandang Almond di dalam menganalisa sistem politik, tetap lah menyangkut kepada efektifitas suatu sistem politik di dalam menjalankan fungsi-fungsinya menjawab tantangan dalam negeri dan luar negeri.
                Karena itu, dengan pendekatan “Input – Proses – Out Put – Easton akhirnya bisa membedakan antara sistem politik yang bekerja secara efektif dengan sistem politik yang disfungsional karena kegagalan mengakomodasi elemen-elemen Input; kegagalan memposes tuntutan-tuntutan atau aspirasi yang beragam atau bahkan bertentangan; kegagalan melahirkan suatu kebijakan atau keputusan responsif dan diterima banyak pihak; serta kegagalan menciptakan suatu dinamika politik yang mampu menjawab tantangan dalam dan luar yang terus berubah (dinamis).
                Tentu saja, kedua kajian mengenai sistem politik ini tidak bisa dipisahkan dari pendekatan lain yakni budaya politik dan sejarah. Untuk kasus Indonesia, dimensi-dimenasi kesejarahan mulai dari jaman kerajaan-kerajaan, kolonialisme, masa kemerdekaan (liberal-parlementer, presidensial dan demokrasi terpimpin, serta masa otoritarian-militeristik Orde Baru) mau pun masa transisi demokrasi pasca reformasi akan ikut mempengaruhi proses pembentukan sistem politik di Indonesia. Sama halnya dengan dimensi kultural yang ikut mempengaruhi pembentukan dan implementasi sistem politik.
                Dengan demikian, kata kuncinya adalah kapabiltas dari sistem politik menyahuti tuntutan-tuntutan masa kini dan masa depan, tuntutan dari dalam mau pun dari luar negara, dalam rangka menghadirkan collective will, kehendak bersama yang setara untuk hidup sejahtera dan adil.  Dalam posisi seperti ini lah sistem politik harus didesain yang kemudian berakibat pada aspek normatif yang mesti dibangun, struktur dan kelembagaan apa dan dengan fungsi-fungsi apa saja yang dibutuhkan, pola interaksi politiknya, sistem kepartaian dan pemilu, model-model kebijakan, model desentralisasi dlsb.
                Terlepas dari perbedaan-perbedaan mendasar menyangkut ide negara, demokrasi dan keadilan sosial, baik yang dimunculkan oleh kaum liberal mau pun sosialis (serta kaum sosial-demokrat), pada dasarnya semua aliran ini membayangkan suatu sifat demokrasi dimana partisipasi politik rakyat diakomodasi. Dalam arti, universal suffrage menjadi issu bersama di mana jaminan kesetaraan hak-hak dasar politik menjadi penting. Mereka percaya kepada ide kedaulatan rakyat karena secara filosofis semua pihak mengakui konsep dasar filosofis demokrasi berarti suatu pemerintahan yang lahir dari pemikiran dan praktek politik Yunani kuno: pemerintahan untuk orang tertindas, pemerintahan untuk rakyat banyak atau pemerintahan untuk kaum miskin (government for the many, for the poor, for the disadvantaged).







0 Response to "Partai Politik di Indonesia"

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel