Militer Di Indonesia
Militer Di Indonesia
A. Pengaruh Militer dalam Sistem Politik Indonesia
Sejak awal
kemerdekaan Indonesia TNI/militer
merasa punya andil yang sangat besar terhadap kemerdekaan
Indonesia. Jasa yang besar yang diberikan itu sehingga TNI merasa berhak untuk
ikut terlibat dalam memperoleh kue politik. Meskipun TNI merasa punya andil
besar namun pada mulanmya timbul pertentangan antara para pendiri RI dengan
TNI. Karena para pendiri republic Indonesia merasa kurang yakin bahwa
kemerdekaan ini diperoleh dengan mengandalkan tentara. Karena itu pada awal
kemerdekaan, militer jalan sendiri dan pemerintah jalan sendiri. Namun6 pada
saat revolusi fisik terjadi di era 1945-1949 peran TNI(setelah disahkan oleh
pemerintah dengan Jenderal Soedirman)sangatlah besar dengan memukul mundur
Belanda yang ingin menginjakkan kakinya kembali di Indonesia.
Di era gerakan
reformasi sebagai proses menata kembali kehidupan bernegara dan bermasyarakat
yang mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi telah menghadapkan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) pada berbagai tantangan. Tantangan terberat, antara
lain, adalah penataan kembali peran TNI dalam konteks hubungan sipil-militer
yang demokratis. Terkait dengan persoalan ini, masalah redefinisi peran dan
keterlibatan TNI dalam konteks transisi demokrasi menjadi isu besar, yang dapat
mempengaruhi berhasil atau gagalnya proses demokratisasi itu sendiri.
Pengalaman
beberapa negara di Amerika Latin dan Eropa Selatan menunjukkan bahwa proses
transisi demokrasi tidak selamanya bermuara pada terciptanya konsolidasi
demokrasi. Transisi demokrasi, tanpa pengelolaan secara rasional, sistematik,
dan terencana, memungkinkan kembalinya intervensi militer dalam sistem politik.
Intervensi
militer dalam sistem politik inilah yang merupakan tema sentral buku Arif
Yulianto. Dalam buku tersebut, Yulianto memodifikasi teori Alfred Stepan dan
menawarkan tipologi baru bagi hibridisasi dari dimensi-dimensi kontestansi, hak
istimewa, dan hubungan sipil-militer yang demokratis. Bagi Yulianto, ada lima
tipe hubungan sipil-militer, yaitu:
(1) posisi bagi pemimpin militer yang tidak dapat dipertahankan lagi
(2) posisi bagi para pemimpin sipil demokratis yang hampir tidak
dapat dipertahankan lagi;
(3) akomodasi sipil yang tidak seimbang;
(4) kontrol sipil; dan
(5) akomodasi sipil-militer.
Untuk
menentukan tipologi hubungan sipil-militer di Indonesia, Yulianto menggunakan
tiga indikator bagi dimensi kontestansi militer (hlm 463-508), yaitu
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tindak kekerasan militer, kebijakan
pemerintah sipil dalam menata struktur, peran dan kontrol atas militer, serta
anggaran belanja militer. Tiga indikator ini dilengkapi dengan 11 indikator
dari dimensi hak-hak istimewa militer. Kesebelas indikator tersebut adalah:
(1) peranan independen militer dalam sistem politik;
(2) hubungan militer dengan kepala eksekutif;
(3) koordinasi sektor pertahanan;
(4) partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet;
(5) peranan badan pembuat undang-undang dalam bidang pertahanan;
(6) peranan pegawai negeri sipil dan
pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan bidang pertahanan;
(7) peran militer dalam intelijen negara;
(8) tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian;
(9) peran militer dalam promosi;
(10) keterlibatan militer dalam perusahaan negara/swasta (bisnis
militer);
(11) peran militer dalam sistem hukum.
Hasil kajian Yulianto, yang sangat terbuka untuk diperdebatkan,
menunjukkan bahwa dari 11 indikator dimensi hak-hak istimewa sipil, Indonesia
telah berada di tipe ideal untuk empat indikator, yaitu: hubungan militer
dengan kepala eksekutif, partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet, peranan
badan undang-undang dalam bidang pertahanan, peranan pegawai negeri sipil dan
pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan pertahanan, serta peran
militer dalam promosi. Untuk empat indikator ini, otoritas sipil telah dapat
menempatkan TNI dalam tataran kewenangan yang tepat.
Yulianto juga menunjukkan bahwa moderasi hubungan sipil-militer
terjadi untuk enam indikator lainnya, kecuali indikator peran militer dalam
sistem hukum. Namun, jika lima tipologi Yulianto dielaborasi lebih dalam akan
tampak bahwa militer di Indonesia masih cenderung melakukan penentangan
terhadap kebijakan pemerintah sipil yang berkenaan dengan sistem politik nasional
serta tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian. Penentangan ini diuraikan
terjadi karena belum adanya independensi partai-partai politik dalam kegiatan
politik nasional; dan belum jelasnya tataran kewenangan antara TNI dan Polri.
Hasil kajian
Yulianto secara jitu menunjukkan bahwa pekerjaan rumah terberat bagi reformasi
militer di Indonesia adalah penanganan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan
militer. Di indikator ini, hubungan sipil-militer berada di kotak merah yang
menunjukkan militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali
otoritas politik sipil.
Jika kajian Yulianto ini dijadikan landasan bagi transformasi
militer Indonesia, setidaknya ada lima masalah reformasi sektor keamanan yang
harus ditemukan solusinya, yaitu:
(1) posisi militer dalam sistem dan kegiatan politik nasional;
(2) koordinasi dan kerja sama lintas institusi di sektor
pertahanan-keamanan;
(3) peran militer dalam intelijen negara;
(4) keterlibatan militer dalam bisnis; serta
(5) pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Penyelesaian lima
masalah ini menjadi kunci bagi terciptanya TNI yang profesional dalam suatu
sistem politik yang demokratis.
Namun, dalam jangka pendek, Indonesia cenderung tidak akan mengalami
transformasi militer yang drastis. Ada tiga faktor yang ingin disorot di
tulisan ini, yaitu: karakter politik TNI, regulasi-regulasi politik yang
mengatur TNI, dan kapasitas ekonomi Indonesia.
Reformasi
internal TNI yang digulirkan sejak tahun 1998 belum sepenuhnya melepaskan TNI
dari karakter tentara politik. Tentara politik ini merupakan antitesa dari
konsep Huntington tentang non-political professional military. Sebagai tentara
politik, TNI memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan Janowitz,
yaitu: militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan
sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara. Hal ini dilakukan dengan
mengombinasikan prinsip hak sejarah (birthright principle) dan prinsip
kompetensi (competence principle).
Prinsip hak
sejarah didasarkan pada suatu interpretasi sejarah bahwa militer berperan besar
dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan tidak
terhingga untuk membentuk dan mempertahankan negara. Sedangkan prinsip
kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang
dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa.
Faktor utama yang mendasari penilaian ini adalah wacana tentang ketidakmampuan
institusi sipil untuk mengelola negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis
nasional.
Untuk
Indonesia, tampaknya TNI menjelma menjadi tentara politik dengan
mengombinasikan hak sejarah dan kompetensi. Perpaduan dua prinsip tersebut
dilakukan sepanjang sejarah perkembangan militer Indonesia, mulai dari masa
perjuangan kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru. Perkembangan kronologis tentang
persoalan ini dijelaskan secara rinci oleh Yulianto di bab 4 dan bab 5. Di dua
bab tersebut Yulianto melakukan suatu kajian kepustakaan tanpa berupaya untuk
melakukan interpretasi ulang sejarah yang diperlukan untuk melakukan
dekonstruksi dan rekonstruksi wacana evolusi militer di Indonesia. Di tulisan
ini, perkembangan sejarah militer Indonesia yang berkaitan dengan perpaduan
prinsip hak sejarah dan prinsip kompetensi disajikan dalam tiga tahap.
I.
Di tahap pertama, militer
Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan prinsip hak sejarah, terutama
dengan mengidentifikasi diri sebagai aktor yang berperan penting dalam
perjuangan kemerdekaan dan mendukung penuh kebijakan nasionalistik pemerintah
untuk meredam gerakan-gerakan separatis serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan
teritorial Indonesia. Di tahap pertama ini perjuangan merebut kemerdekaan serta
integrasi nasional merupakan dua konstruksi wacana yang dipergunakan untuk
memperkuat prinsip hak sejarah. Wacana ini digulirkan untuk membentuk pemahaman
bahwa ABRI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating
entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat.
II.
Di tahap kedua, militer
Indonesia menjelma menjadi penjaga, sekaligus penyelamat bangsa (the guardian
and the savior of the nation). Hal ini dilakukan dengan menempatkan militer
Indonesia sebagai pelindung Pancasila. Penempatan ini mulai dirintis oleh
Nasution melalui perumusan doktrin dwifungsi di tahun 1950-an dan mendapat kulminasinya
dalam penumpasan pemberontakan PKI 1965.
III.
Di tahap ketiga, prinsip hak
sejarah dipadukan dengan prinsip kompetensi dengan menempatkan militer
Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa
sekaligus menjadi motor pembangunan nasional. Perpaduan ini dilakukan dengan
memperkenalkan strategi pembangunan politik-ekonomi yang menggabungkan tahapan
pertumbuhan lima tahunan yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi
stabilisasi politik-keamanan yang diungkapkan oleh Huntington. Kombinasi model
Rostow-Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka
panjang yang menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama
pembangunan ekonomi. Strategi ini menempatkan militer di titik sentral
pembangunan nasional.
Proses
reformasi internal TNI yang telah dilakukan sejak tahun 1998 telah berhasil
melaksanakan beberapa agenda penting, antara lain: pemisahan Polri dari TNI;
validasi organisasi TNI; serta likuidasi Kepala Staf Teritorial TNI, Kepala
Staf Sosial Politik ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI. Di
tahun 2003-2004, TNI tetap menunjukkan komitmen untuk melanjutkan reformasi
internal TNI antara lain dengan menegaskan netralitas TNI dalam proses pemilu
legislatif. Reformasi internal TNI yang cenderung condong ke pergeseran peran
sosial-politik TNI diharapkan dapat segera diselesaikan sehingga TNI tidak lagi
memiliki karakter tentara politik dan proses reformasi TNI bisa dilanjutkan
dengan melakukan transformasi dan modernisasi pertahanan Indonesia.
Untuk merombak
total karakter TNI sebagai tentara politik, otoritas-otoritas politik sipil
dihadapkan pada hambatan kedua dari transformasi militer di Indonesia, yaitu
belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik
Indonesia. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat
upaya untuk menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan.
Implementasi prinsip-prinsip good-governance ini dapat dijadikan titik awal
untuk menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang
demokratis.
Berkaitan
dengan regulasi politik di bidang pertahanan negara, Yulianto memberikan suatu
interpretasi unik tentang UUD 1945. Saat Yulianto membandingkan pola hubungan
sipil-militer masa sistem parlementer (1954-1959) dengan sistem presidensiil
pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Yulianto (hlm 7) menyatakan bahwa:
"Berlakunya kembali UUD 1945 ini membawa keuntungan sendiri bagi militer
Indonesia, karena selama berlangsungnya demokrasi parlementer, keikutsertaan
militer dalam penyelenggaraan negara hanya sebatas pada alat negara yang
mengurusi bidang pertahanan-keamanan saja. Oleh karena itu berlakunya UUD 1945
membawa peluang militer untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara tidak
hanya sebatas bidang pertahanan keamanan, namun juga dalam bidang-bidang
lainnya. Militer mulai mendapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam percaturan
politik."
Interpretasi
ini tentunya perlu dikaji ulang. Jika interpretasi Yulianto diterima, maka
selama Indonesia tetap berlandaskan pada sistem presidensiil, sistem politik
Indonesia akan terus-menerus mendapat intervensi dari TNI. Namun, telaah
sederhana terhadap negara-negara demokrasi Barat yang menerapkan sistem
presidensiil segera menunjukkan bahwa interpretasi Yulianto sulit diterima.
Telaah-telaah teoretik cenderung tidak meletakkan sistem parlementer atau
presidensiil sebagai variabel penjelas hubungan sipil-militer.
Namun, ide
besar Yulianto tetap dapat diterima dan menuntut elaborasi lebih dalam. Ide
tersebut adalah pola hubungan sipil-militer di Indonesia akan sangat tergantung
dari kualitas regulasi-regulasi politik tentang institusi militer yang
dirumuskan oleh otoritas politik sipil.
Saat ini, proses perumusan regulasi-regulasi politik tentang
pertahanan nasional tampaknya seperti jalan di tempat lantaran adanya
ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan regulasi-regulasi politik yang ada dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika diinventarisasi regulasi-regulasi politik
tersebut adalah UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945 dan Bab Pertahanan Keamanan
Negara), Tap MPR No VI dan VII (2002), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, serta UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Sebenarnya,
sinkronisasi regulasi politik bisa dilakukan dengan merumuskan suatu cetak biru
regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan. Cetak biru ini harus memuat
seluruh regulasi yang relevan dan diajukan ke DPR secara bersamaan. Jika
dikaji, minimal ada empat kelompok regulasi politik yang perlu dibuat, yaitu:
regulasi tentang kebijakan pertahanan nasional, regulasi tentang institusi dan
prajurit TNI, regulasi tentang sumber daya pertahanan, dan regulasi tentang
prosedur pengerahan TNI.
Faktor terakhir
yang menghambat transformasi militer di Indonesia adalah tidak adanya kapasitas
ekonomi yang memadai untuk meluncurkan program modernisasi pertahanan. Yulianto
(hlm 500-507) menjabarkan berbagai indikator ekonomi untuk menunjukkan
kapasitas ekonomi tersebut. Indikator-indikator tersebut, antara lain,
fluktuasi anggaran belanja militer Indonesia di APBN, proporsi anggaran
pertahanan Indonesia ke produk domestik bruto (PDB), hingga perencanaan
pengadaan alat utama sistem pertahanan Indonesia yang tertuang di Rencana
Strategis Pertahanan Negara 1999-2004. Indikator-indikator tersebut mendukung
pendapat konservatif yang menyatakan bahwa untuk 10-15 tahun ke depan, anggaran
pertahanan Indonesia akan tetap kecil, baik dari sisi proporsi ke PDB maupun ke
APBN.
Selanjutnya kita menilik peranan militer di era Presiden Gusdur.
Peristiwa pengepungan Istana Negara pada 17 Oktober 1952 oleh TNI AD seolah
segar kembali dlam ingatan. Gusdur berulang-ulang mengulas peristiwa ini di
berbagai kesempatan. Alasannya cukup jelas, sebagai peringatan kepada militer
bahwa ia tidak takut sejarah akan berulang. Dalam hal ini Gusdur tidak ingin
mundur dari jabatannya sebelum 2004, apapun resikonya.
Hal yang
melatarbelakangi pengungkapan sejarah perlawanan tentara kepada pemerintah
adalah agenda pelaksanaan SI-MPR yang segera dilaksanakan. Dalam situasi kritis
dan kemelut politik yang sedang berlansung, presiden Gusdur tidak berhasil
mendapatkan simpati kekuatan-kekuatan politik besar yang ada. Banyak pihak yang
menyayangkan sikap Gusdur yang keras kepala. Seandainya saja ia segera
berkompromi setelah keluarnya memorandum pertama, mungkin tidak sepanik saat
ini. Perilaku politik Presiden Wahid sangat arogan, sehingga para elite politik
yang berseberangan dengannya berketatapan hati untuk menghentikan kekuasaannya.
Hal inilah yang membuat Gusdur sangat gusar. Terlebih lagi, tentara sebagai
senjata pamungkas pelanggeng kekuasaan kini tidak dapat diandalkan. Cara-cara
politik kekerasan tidak dapat dilakukan tanpa dukungan tentara. Tentara adalah
harapannya yang terakhir bila semua jalan kompromi telah buntu. Namun, tentara
telah mengecewakannya, setidaknya hingga hari ini. Hal ini diakibatkan karena
sejak reformasi 1998, tentara telah berbenah diri secara interen diikuti dengan
Polri. Peran tentara mulai kembali pada jati dirinya sebagai militer yang
professional. Karena itu ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya
melalui reformasi internal TNI dan Paradigma barunya.
B.
Militer dalam Politik Indonesia
Di awal tahun
1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik bangsa
Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai.
Kondisi kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan,
pemerintahan jatuh-bangun dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena
masing-masing partai lebih cenderung memperjuangkan kepentingan ideologi
partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh.
Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik ini dikukuhkan secara formal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11 November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6)
Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an. Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA).
Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reformasi 1998) terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil.
Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden. Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam fungsi keamanan ataupun karena tidak dapat dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat “analitik” dan “prosfektif” ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshif yang memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23)
Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis dengan ikut serta dalam pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil.
Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik ini dikukuhkan secara formal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11 November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6)
Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an. Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA).
Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reformasi 1998) terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil.
Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden. Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam fungsi keamanan ataupun karena tidak dapat dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat “analitik” dan “prosfektif” ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshif yang memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23)
Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis dengan ikut serta dalam pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil.
a. Lahirnya Tentara Nasional Indonesia
Membicarakan
kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bis lepas dari perkembangan
militer dimasa pemerintahan Jepang. Kelahiran Tentara Nasional Indonesia tidak
bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia atau Proklamasi 17 Agustus
1945. (Karim, 1989: 21)
Dalam catatan
sejarah menunjukkan bahwa model gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan
oleh generasi-generasi sebelum tahun 1940-an, lebih banyak menempuh jalan
diplomasi dengan tekanan-tekanan intelektual guna membentuk opini massa,
daripada jalan kekerasan dan peperangan. Namun semenjak memasuki tahun 1940-an
telah muncul generasi-genaerasi yang tidak sabar terhadap cara perjuangan
generasi tua yang masuk dalam generasi kebangsaan tersebut. Mereka telah
menemukan caranya sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan tidak mungkin hanya
melalui jalan berunding dengan pengajuan petisi, tanpa diikuti oleh tekanan
aksi fisik (tindakan militer).
Ketidak sabaran
generasi muda tersebut telah mendorong terjadinya revolusi. Jalan pintas yang
radikal telah membuahkan cara berpikir yang pragmatis, melakukan aksi perang.
Dalam peristiwa tersebut telah melahirkan anak-anak revolusi dan dampaknya telah
berhasil mendorong secara cepat terealisasikannya konsep-konsep menuju
kemerdekaan yang telah dipupuk sejak pergerakan kebangsaan. (Dydo, , 1989:
26-27)
Sebelum
lahirnya Tentara nasional Indonesia, di negara kita dikenal adanya Heiho dan
PETA. Banyak Putera Indonesia yang memasuki Heiho dan PETA ini. Pembentukn dua
organisasi butan tenta Jepang ini sudah barang tentu dilatar belakangi oleh
maksud-maksud penjajahan Jepang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di
negara kita. Di samping itu dikenal pula KNIL, tentara Belanda. Pada tanggal 22
Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan merupakan suatu
organisasi militer resin, melainkam bersifat kerakyatan. (Karim, 1989: 21)
Tidak adanya
kesatuan tentara (Angkatan Perang) permanen yang dimiliki oleh Pemerintah
Indonesia sejak diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,
menimbulkan keheranan dan tanda tanya besar oleh beberapa pimpinan pejuang yang
bergerak dalam bidang ketentaraan. Oerip Soemohardjo, seorang pensiunan Mayor
KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger), mengatakan “Aneh, suatu negara
zonder Tentara” (Dydo, 1989: 26)
Mengingat
eksistensi kemerdekaan yang semakin hari semakin terancam dengan adanya
usaha-usaha kaum pejajah untuk kembali ke Indonesia, dan Marsekal Terauchi
diperintahkan oleh Mac Arthur untuk meampertahankan status quo di daerah
pendudukannya serta mendaratnya Tentara Inggris di Jakarta pada tanggal 16
September 1945 yang dipimpin oleh Lord Louis Mounbatten yang mendesak jepang
untuk mempertahankan status quo telah pula membuat anggota Badan Keamanan
rakyat (BKR) semakin berani berhadapan dengan tentara Jepang. Dan semakin
bertambah panas setelah datangnya pasukan tambahan tentara Inggris pada tanggal
29 September 1945 di bawsah pimpinan Sir Philip Christison.
Adanya
kenyataan yang demikian itu membuat para pemimpin pemerintahan kita saat itu
menyadari betapa pentingnya sebuah angkatan perang (tentara) dalam
mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945
mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan Oerip Soemohardjo sebagai
Kepala Stafnya, dan sehari setelah itu pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat
yang mengangkat Suprijadi sebagai menteri Keamanan Rakyat.
Setelah
lahirnya TKR, maka BKR, PETA, KNIL, Heiho, dan lasykar-lasykar lainnya, oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dikeluarkan perintah mobilisasi TKR,
yaitu dengan menyatukan lembaga-lembaga yang telah ada selama ini di bawsah
panji TKR.
Atas prakarsa
Markas tertinggi TKR pada tanggal 1 Januari 1946, dikeluarkanlah Penetapan
Pemerintah No. 3/SD. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi
“Tentara Keselamatan Rakyat” dan Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi
“Kementerian Pertahanan”. Dan pada tanggal 26 Januari 1946 keluarlah maklumat Pemerintah
yang mengubah Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI).
Berdasarkan
maklumat ini, dinyatakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) bersifat
nasional (kebangsaan) dan sekaligus merupakan satu-satunya organisasi militer
di Indonesia.(Karim, 1989: 23)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesai dalam perjalanan
selanjutnya juga tidak lepas dari polarisasi orientasi politik sipil-militer,
Soekarno-Hatta-Sjahrir di satu pihak yang lebih menekankan pada strategi diplomasi,
dan dipihak lain Soedirman-Oerip-Soetomo dari kalangan militer bersama
lasykar-lasykar yang berorientasi pada strategi perang dalam menghadapi Belanda
hampir saja membawa petaka, yaitu rusaknya persatuan nasional yang belum lama
dibangun. Di samping adanya polarisasi militer-sipil tersebut, dalam tubuh
barisan angkatan bersenjatapun masih terdapat friksi-friksi yang timbul dari
lasykar-lasykar yang belum sepenuhnya mampu keluar dari bayang-bayang ideologi
induknya semula.
Guna mengatasi kemelut yang terjadi dalam tubuh militer ini maka
pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah mengeluarkan dekrit untuk membentuk panitia
yang diketuai oleh Presiden, dengan beranggotakan 21 orang. Panitia Pembentukan
Organisasi Tentara Nasional Indonesia ini menghasilkan keputusan yang dimuat
dalam Penetapan Presiden. Penetapan yang dikeluarkan 7 Juni 1947 inilah yang
membentuk organisasi “Tentara Nasional Indonesia”. Bertitik tolak dari uraian
tersebut di atas, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini terbentuk dari
tiga elemen pokok yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: KNIL, PETA,
dan lasykar-lasykar.
b. Demokrasi dan Demokratisasi
Demokrasi saat
ini merupakan kata yang senantiasa mengisi setiap wacana perbincangan berbagai
lapisan masyarakat baik dari lapisan masyarakat kelas bawah (grass root) hingga
masyarakat kelas menengah dan atas. Dan sering sekali dikaitkan dengan berbagai
persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan bidang keilmuan lainnya,
seperti: “Islam dan Demokrasi”, “Ekonomi dan Demokrasi”, “Hukum dan Demokrasi”,
dan lain sebagainya.
Demokrasi
sebagai salah-satu corak pemerintahan, berasal dari kata demos dan cratein
(bahasa Yunani) yang berarti rakyat dan kekuasaan. Jadi titik sentral dari
pemerintahan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan itu
melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta
mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan
atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri
mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini
pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain.
Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara,
sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Moh. Mahfud MD,
menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai
dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua
negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental;
Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan
arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi
tertingginya. (Mahfud, 1999: 5-6)
Adapun Amien
Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip oleh
Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima
secara luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan
terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu
doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara.
Kedua, dsemokrasi sebagai system politik dan pemerintahan dianggap mempunyai
akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan
bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik
yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan
manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila
mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya. (Masdar, 1999: 86)
Dalam
menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap
negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik
yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang
mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar
kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 Sebelum Perubahan, “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan bandingkan dengan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 Setelah Perubahan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, namun dalam pelaksanaannya
kedaulatan rakyat itu tidak pernah dijalankan selama lebih kurang empat puluh
tahun (5 Juli 1959-21 Mei 1998). Setelah kejatuhan Soeharto (Orde Baru)
tuntutan untuk penyelenggaraan pemerintahan demokrasi merebak sampai
kepelosok-pelosok negeri. Demokratisasi menjadi salah satu istilah yang tak
dapat dipisahkan dari tuntutan penyelenggaraan pemerintahan demokrasi tersebut.
Untuk itu perlu kita ketahui apa dan bagaimanakah demokrasi, demokratisasi dan
pemerintahan demokratis tersebut.
Herts dalam
bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh
Soekarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa “Democracy is a form of
government in which no one member, has political prerogative over any other.
Government thus the rule of all over all in the common, as opposed to the
individual or separate group interest) (Soekarna, 1990: 37). Yang artinya
adalah “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota
(rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota
(rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh
keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai
suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu
perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana
individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan
cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”, sedangkan Sidney Hook,
menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”, adapun
Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga
negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama
para wakil mereka yang telah terpilih”. (Ubaidillah, 2000: 162)
Pendapat lain
menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi
suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi
sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari
segala sesuatu yang diinginkan: “personal right, human welfare, collective
preference”. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu
perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena
produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat. (Doel, 1988: 11)
Dari pendapat
para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian
demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu
keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan
pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang
dilaksanakan secara lanmgsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga
perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan
berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan
rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD
menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka
kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas
demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government
of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan
pemerintahan untuk rakyat (government for the people). (Mahfud, 1999: 8)
Demokrasi dalam
menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka harus
menjalankan prinsip-prinsip yang ada padanya. Adapun prinsip-prinsip yang
terdapat dalam demokrasi adalah, sebagai berikut: (Sukarna, 1990: 40-42)
1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif berada pada badan yang berbeda.
2. Pemerintahan konstitusionil
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pemerintahan mayoritas
5. Pemerintahan dengan dialog
6. Pemilihan umum yang bebas
7. Partai politik lebih dari satu dan menjalankan
fungsinya, yaitu:
a. Mencalonkan kandidat
b. Mmbina pendapat masyarakat
c. Menarik rakyat untuk memilih
d. Mengeritik penguasa
e. Memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam
pemerintahan
f. Melakukan pendidikan politik
g. Memilih pemimpi-pemimpin politik
h. Memadukan pemikiran-pemikiran politik
i. Melakukan sosialisasi politik
j. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan
k. Mempersatukan pemerintahan
l. Mempertanggumngjawabkan pemerintahan
8. Managemen terbuka (tranfarancy):
a. Ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan
b. Mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat
c. Adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah
d. Adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah
9. Pers yang bebas
10. Pengakuan terhadap hak-hak minoritas
11. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
12. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
13. Pengawasan terhadap adminisdtrasi negara
14. Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan
politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah
15. Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan
politik tanpa paksaan dari badan lain
16. Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan
merit system bukan spoil system
17. Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara
kompromi
18. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam
batas-batas tertentu, seperti:
a. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan
pikiran
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan dari rasa takut
d. Kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha)
19. Konstitusi/Undang-Undang Dasar/Peraturan
Perundang-undangan yang demokratis
20. Adanya persetujuan
·
Inu Kencana syafi’i,
prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2000: 166-169)
1. Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power)
2. Adanya pemilihan umum yang bebas (general election)
3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
4. Adanya kebebasan individu
5. Adanya peradilan yang bebas
6. Adanya pengakuan hak minoritas
7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum
8. Adanya pers yang bebas
9. Adanya muti partai politik
10. Adanya musyawarah
11. Adanya persetujuan parlemen
12. Adanya pemerintahan yang konstitusionil
13. Adanya ketentuan pendukung dalam system demokrasi
14. adanya pengawasan terhadap administrasi publik
15. Adanya perlindungan hak asasi manusia
16. Adanya pemerintahan yang bersih (cleant and good
government)
17. Adanya persaingan keahlian (profesionalitas)
18. Adanya mekanisme politik
19. Adanya kebijakan negara yng berkeadilan
20. Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung
jawab.
Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada
prinsipnya hampir sama, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran dan
sistematikanya.
Pendapat lain
yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl
dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah;
kedua, pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat,
adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyetakan pendapat tanpa ancaman;
keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh, kebesasan berserikat.
(Ubaidillah, 2000: 169).
Sedangkan
menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan,
kebebasan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap
warga negarabaik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan
dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan
menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan
menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan
penegasan dan penagkuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran
dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa
terelakkan). (Ubaidillah, 2000: 165-166)
Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya,
karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh
prinsip-prinsip yamh lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan
baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya
pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan
atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu.
Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di
luar partai politik yang telah ditentukan.
Demokratisasi pertama kali ditiupkan di Indonesia oleh Paul
Wolfowitz pada saat akan megakhiri masa jabatan duta besarnya di Indonesia pada
tahun 1989.
Pasca kejatuhan
Soeharto 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi, yaitu
suatu masa dimana telah terjadi suatu peralihan dari rezim penguasa yang
otoritarian menuju suatu tatanan pemerintahan dengan kehidupan kenegaraan yang
demokratis.
Demokratisasi
merupakan suatu arus transformasi global yang terjadi dalam gelombang dunia
ketiga yang sulit dielakkan, yang bermula pada tahun 1974, yaitu tahun
ditumbangkannya rezim diktator Portugal. Ia mendefenidsikan “gelombang
demokrasi” sebagai suatu kelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis yang
terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu yang jumlahnya secara signifikan
melebihi jumlah transisi yang terjadi sebaliknya. Gelombang pertama berlangsung
lambat dan lama, yaitu hampir satu abad, mulai tahun 1823 sampai tahun 1926 dan
gelombang kedua dari tahun 1943 sampai tahun 1964. Yang menarik adalah, bahwa
setiap gelombang itu diakhiri oleh “gelombang balik”, yaitu jatuhnya
rezim-rezim demokratik, pertama berlangsung dari tahun 1922-1942, dan kedua
dari tahun 1961-1975. ( Ginting,1997,: 16-17)
c. Tentara Nasional Indonesia, Politik dan Demokratisasi
Pecahnya
peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak
pula terhadap meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta
perpolitikan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya
G.30S/PKI/1965 ini dua kekuasaan besar saat itu, yaitu kekuasaan Presiden
Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur.
Kekuasaan
militer (TNI-AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11
Maret 1966 untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi serta
menjaminkeselamatan presiden…” dengan berkoordinasi dalam menjalankan
pelaksanaan perintah bersama panglima-panglima angkatan serta melaporkan segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya .
Perjalanan
politik tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan
mengebiri partai-partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam
dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Partai-partai
politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesifik sebagaimana pada masa
orde lama, pertentangan antar faksi dalam partai politik tersebut tidak dapat
terelakkan dan berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan
Karya yang didukung oleh Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam
menjalankan visi misi Orde Baru, serta menguasai parelemen dan pemerintahan
yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan Golkar/ABG).
Runtuhnya
kekuasaan Soeharto (Orde Baru) berdampak pula terhadap kekuasaan militer (TNI)
dalam bidang sipil dan pemerintahan. Tuntutan demokrasi dan demokratisasi juga
melanda pemikiran para petinggi militer, dengan mengeluarkan paradigma baru
ABRI (TNI) pada HUT-nya yang ke-53 pada 5 Oktober 1998 yang dilaksanakan secara
bertahap. Seperti pengurangan TNI/Polri menjadi 38 orang serta adanya maklumat
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk tidak melakukan penggunaan hak
pilih anggotanya (prajurit) TNI dalam pemilu 2004.
Jadi kesimpulan
mengenai peranan militer dalam sistem politik di Indonesia adalah peranan
militer dalam politik di Indonesia sebelum reformasi sangatlah bertolak
belakang dengan peranan militer setelah masa reformasi. Dimana sebelum
reformasi, militer berperan sebagai alat politik. Hal ini sejalan di masa orde
baru, presiden soeharo kala itu menggunakan militer sebagai alat politik.
Misalnya saja, terjadi kekerasan politik oleh militer terhadap mahasiswa di
tahun 1998 sebagai akibat dari ketidakinginan Soeharto melepaskan tahta
kekuasaannya. Sedangkan dimasa reformasi peranan militer telah menjadi mitra
sipil dalam membangun demokrasi dan tidak lagi sebagai alat politik yang
bernuansa pelanggeng kekuasaan.
0 Response to "Militer Di Indonesia"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !