-->

Top Ad Slot (728x90)

Ikhtisar Struktur Politik Indonesia



Politik Indonesia
Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang otoriter pada tahun 1998, berbagai perubahan konstitusional dilakukan untuk melemahkan kekuasaan cabang-cabang eksekutif. Dengan demikian, membuat sebuah sistem kediktatoran baru hampir mustahil. Indonesia saat ini ditandai oleh kedaulatan rakyat termanifestasi dalam pemilihan parlemen dan presiden setiap lima tahun. Sejak berakhirnya Orde Baru dan mulainya periode Reformasi, setiap pemilu di Indonesia dianggap bebas dan adil (meskipun korupsi dan politik uang di mana orang membeli kekuasaan atau posisi politik masih tetap lazim).

Ikhtisar Struktur Politik Indonesia

Indonesia adalah negara sekuler yang berarti kebijakan-kebijakan politiknya tidak selalu didasarkan dari satu ajaran agama tertentu dan tidak memilih satu agama sebagai agama resmi negara. Meskipun demikian, agama berperan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Warga negara Indonesia wajib menganut salah satu agama yang diakui oleh negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu), menjadi Ateis bukanlah pilihan yang tepat.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tidak dapat dipungkiri, Islam memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan politik nasional. Meskipun demikian, Indonesia bukanlah negara Islam. Desenstralisasi politik di era pasca-Suharto telah memberikan kekuatan lebih besar pada pemerintahan daerah dan efek dari perkembangan ini tersirat dalam pengambilan keputusan politik daerah yang semakin terpengaruh oleh ajaran agama tertentu. Contoh kebijakan-kebijakan politik di daerah Muslim dengan pengaruh ajaran yang ketat misalnya adalah pelarangan usaha dengan bahan dasar babi atau mewajibkan perempuan menggunakan hijab atau kerudung. Kebijakan-kebijakan semacam ini akan terkesan aneh jika diimplementasikan di wilayah timur Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dengan mayoritas penduduk Muslim dan orang Jawa (Muslim) yang mendominasi dunia politik nasional, secara keseluruhan Indonesia memang lebih berorientasi pada Islam. Presiden yang menganut agama non-Muslim, tampaknya mustahil. Walaupun begitu, Islam di Indonesia dapat dikatakan cukup moderat karena sebagian besar Muslim Indonesia adalah Muslim abangan. Contohnya ketika Megawati Sukarnoputri terpilih menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia pada tahun 2001, hanya sedikit kelompok minoritas yang menolak kepemimpinannya hanya karena mempercayai satu doktrin Islam yang tidak memperbolehkan perempuan untuk memimpin.
Sistem politik Indonesia terdiri dari tiga lembaga:

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Yang mencakup lembaga eksekutif adalah presiden, wakil presiden dan kabinetnya. Baik presiden maupun wakil presiden, sama-sama dipilih oleh elektorat-elektorat Indonesia dalam pemilihan presiden. Presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Selama masa kampanye presiden dan wakil presiden adalah sebuah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan demikian komposisi kedua pemimpin ini adalah kepentingan strategi politik besar. Hal-hal yang dapat mempengaruhi strategi politik adalah latar belakang etnis (dan agama) dan posisi sosial (sebelumnya) dalam masyarakat. Dalam hal etnisitas dan agama, seorang Muslim Jawa akan lebih mendapat sokongan popularitas karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim Jawa. Untuk posisi politik yang tingkatnya lebih rendah (tergantung dari konteks agama daerah tertentu), pimpinan-pimpinan politik yang bukan Islam masih mungkin adanya (contohnya wakil gubernur Jakarta saat ini, Basuki Cahaya Purnama, yang adalah seorang Cina Kristen). Dengan menilik posisi sosial (sebelumnya) di masyarakat ada beberapa kategori yang dapat memberikan dukungan populer di pelbagai kalangan. Kategori-kategori itu adalah (pensiunan) pejabat tentara, pengusaha, teknokrat dan pimpinan intelektual Muslim. Oleh karena itu untuk mempertinggi kesempatan menang dalam pemilu presiden dan wakil presiden biasanya berasal dari dua kategori sosial yang berbeda supaya bisa menggapai khalayak pemilih yang lebih luas lagi. Contohnya, presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono (seorang pensiunan tentara) memilih Boediono (seorang teknokrat Muslim jawa) sebagai wakil presiden di masa kampanye tahun 2009. Kecepercayaan rakyat kepada pasangan ini meningkat karena Boediono adalah seorang pakar ekonomi. Meski Indonesia mengalami kepemimpinan otoritas di masa Suharto, saat ini pun seorang jendral masih dapat kepopuleran dari rakyat karena mereka dianggap sebagai pemimpin yang kuat.
Setelah pemilu, presiden baru yang terpilih akan memilih anggota kabinetnya yang biasanya terdiri dari anggota-anggota partainya, partai koalisi dan teknokrat non-partai. Klik di sini untuk melihat susunan kabinet Indonesia saat ini.
Yang mencakup lembaga legislatif adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR berwenang menyusun atau mengubah Undang-Undang Dasar dan melantik (atau memberhentikan) presiden. MPR adalah sebuah lembaga legislatif bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR, yang terdiri dari 560 anggota, bertugas membentuk dan menyetujui undang-undang, menghitung anggaran tahunan bersama presiden dan mengawasi pelaksanaan undang-undang dan isu-isu politik. Anggota DPR dipilih untuk masa kerja lima tahun dengan proporsi perwakilan yang adil berdasarkan hasil pemilu. Sayangnya, DPR mengantongi reputasi buruk karena isu-isu skandal korupsi yang acap kali dilakukan oleh para anggotanya. DPD menangani keputusan, undang-undang dan isu-isu yang memang berhubungan dengan daerah yang dimaksud, dengan demikian keberadaanya mampu meningkatkan perwakilan daerah di tingkat nasional. Tiap provinsi di Indonesia memilih empat calon anggota DPD (yang akan bekerja di pemerintahanan selama lima tahun) dari non-partai. Karena Indonesia memiliki 32 provinsi, maka jumlah anggota DPD adalah 132 orang.
Yang dimaksud lembaga yudikatif adalah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung (MA) adalah mahkamah tertinggi dalam sistem peradilan Indonesia. MA adalah pengadilan paling tinggi dalam proses naik banding dan MA juga menangani sengketa di pengadilan-pengadilan rendah. Tahun 2003 sebuah Mahkamah baru dibentuk, yaitu Mahkamah Konstitusi. MK memonitor keputusan-keputusan yang dibuat oleh kabinet dan parlemen (MPR) dan posisinya sejajar dengan Konstitusi Indonesia. Sebagian besar kasus-kasus legal dapat ditangani oleh pengadilan umum, pengadilan administrasi, pengadilan agama dan pengadilan militer. Sebuah Komisi Yudisial mengawasi pemeliharaan jabatan, martabat dan perilaku hakim-hakim Indonesia. Ada banyak laporan Bahwa lembaga peradilan di Indonesia tidak bebas dari korupsi dan tidak sepenuhnya independen dari cabang-cabang politik lain.

Sejarah Penjajahan Indonesia

Masa penjajahan Indonesia tidak langsung dimulai ketika orang-orang Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada akhir abad ke-16. Sebaliknya, proses penjajahan oleh Belanda merupakan proses ekspansi politik yang lambat, bertahap dan berlangsung selama beberapa abad sebelum mencapai batas-batas wilayah Indonesia seperti yang ada sekarang.
Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaan mereka pada ekonomi lokal. Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18. Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut dipindahkan ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.

Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia

Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian. Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.
Diponegoro Java War Indonesia InvestmentsMeningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa

Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa dan Perang Jawa mengakibatkan beban finansial yang besar bagi keuangan Kerajaan Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830. Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang dengan harga yang sudah ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil panen dari waktu-waktu sebelumnya, dan karena itu mendorong intervensi top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku. Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara 1832 dan 1852, sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara 1860 ke 1866, angka ini bertambah menjadi 33%.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa tidak didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa bergabung di dalamnya. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi ketika Pemerintah Kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha Eropa.

Zaman Liberal Hindia Belanda

Semakin banyak suara-suara terdengar di Belanda yang menolak Sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan Sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan-alasan kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan sukses menghilangkan beberapa karakteristik Sistem Tanam Paksa, seperti persentase penanaman dan keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk mengekspor hasil panen. Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun - walaupun kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal - keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih baik dibandingkan masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ketika Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Benda untuk memperluas wilayah di Nusantara - selain keuntungan keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal dan lama selama periode ekspansi Belanda adalah Perang Aceh yang dimulai di tahun 1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.

Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia

Ketika perbatasan Hindia Belanda mulai mengambil bentuk menjadi Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Politik Etis, akan diterapkan. Politik Etis (mengakui bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan 'irigasi, pendidikan dan emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang signifikan dalam meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.
Politik Etis menyebabkan efek samping yang besar. Komponen pendidikan berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap Pemerintah Kolonial. Politik Etis memberikan kesempatan, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kebebasan dan demokrasi. Untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.
Pada 1908, para pelajar di Batavia mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi yang pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan yang terbatas. Bab selanjutnya dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik pertama berbasis masa, Sarekat Islam di 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha asli untuk melawan para pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal namum kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran politik populer dengan tendensi subversif. Gerakan-gerakan penting lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan di tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan tahun 1914 yang menyebarkan ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1920.
Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan pendirian gerakan-gerakan politik lokal namun ketika ideologi Indonesia diradikalisasi di tahun 1920an (seperti yang tampak dalam pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun 1926 dan 1927) Pemerintah Belanda mengubah tindakannya. Sebuah rezim yang relatif toleran digantikan dengan rezim represif yang menekan semua tindakan yang diduga subversif. Rezim represif ini hanya memperparah keadaan dengan meradikalisasi seluruh gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 1927 sebagai sebuah reaksi pada rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia.
Peristiwa penting lainnya bagi nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme diproklamasikan, menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Tujuan utama dari kongres ini adalah mendorong persatuan antara kaum muda Indonesia. Di dalam kongres ini lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya) dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan (merah-putih) dikibarkan untuk pertama kalinya. Pemerintah Kolonial Belanda bertindak dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda, seperti Sukarno (yang menjadi presiden pertama Indonesia di tahun 1945) dan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan diasingkan.

Invasi Jepang ke Hindia Belanda

Pihak Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi nasionalis namun mereka tidak pernah bisa menghapuskan sentimen nasionalisme. Orang-orang Indonesia, di sisi lain, tidak memiliki kekuatan untuk bersaing dengan para pemimpin kolonialis dan karenanya membutuhkan bantuan-bantan dari luar untuk menghancurkan sistem kolonial. Di Maret 1942, orang-orang Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan menguasai Hindia Belanda. Walaupun pada awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat dan juga kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terjadi terutama disebabkan karena administrasi yang tidak kompeten, mengubah Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek yang membutuhkan banyak tenaga kerja di Jawa.
Ketika Jepang mengambil alih para pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan oleh orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan. Orang-orang Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial Pemerintah Kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dua hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki.

Orde Lama Soekarno: Kelahiran Indonesia

Soekarno (1901-1970), yang lahir di Surabaya (Jawa Timur) pada masa pemerintahan kolonial Belanda, adalah pemimpin nasionalis yang mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun bertumbuh dalam lingkungan tradisional Jawa (dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh Bali dari sisi keluarga ibunya), Soekarno mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah modern kolonial Belanda. Sejak usia muda minat utamanya adalah membaca buku-buku dengan topik-topik filosofi, politik dan sosialisme. Waktu sekolah di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama dari Sarekat Islam (yang kemudian menjadi gerakan penting untuk kebangkitan nasional Indonesia). Tjokroaminoto menjadi mentor politik dan inspirasi bagi Soekarno.
Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah organisasi politik yang disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Namun, aktivitas-aktivitas politik subversif ini menyebabkan penangkapan dan pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial Belanda yang represif di tahun 1929. Bagi orang-orang Indonesia pada saat itu, pembuangan Soekarno hanya memperkuat citranya sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya, Soekarno berada dalam konflik yang berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial selama tahun 1930an, menyebabkan Soekarno berkali-kali dipenjara. Ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda di bulan Maret 1942, Soekarno menganggap kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan secara sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif.
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mengagumi Soekarno, pencetus dari nasionalisme Indonesia, karena mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia dan membawa identitas politik baru pada negara Indonesia.

Kelahiran yang Sulit Bangsa Indonesia

Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) dan Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bersama dengan publikasi konstitusi yang pendek dan sementara (Undang-Undang Dasar 1945), tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir. Nyatanya akan membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang - setelah dibebaskan dari Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka. Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia Tenggara yang sangat menguntungkan namun kemudian harus menghadapi kenyataan. Di bawah tekanan internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali untuk wilayah barat pulau Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan 'Republik Indonesia Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang menjadi dasar hukum sistem pemerintahan parlementer, menjamin kebebasan individu dan mengharuskan militer untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden, secara garis besar, hanya memiliki fungsi seremonial dalam sistem ini.
Perdebatan antara beberapa pihak yang berpengaruh mengenai dasar ideologis Indonesia dan hubungan organisasional antara sejumlah badan negara telah dimulai sebelum proklamasi tahun 1945. Tentara Indonesia, para pahlawan Revolusi, selalu memiliki aspirasi politik sendiri. Namun, UUDS 1950, tidak menyediakan peran politik bagi para militer. Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusi - meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili kelompok yang homogen - ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-kelompok lain menganggap bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan persatuan Indonesia dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme karena terdapat jutaan orang non-Muslim di Indonesia. Hal lain yang menyebabkan kekecewaan di pihak perwakilan partai-partai Islam dan militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah dilarang oleh pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena mengorganisir pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menjadi salah satu partai paling populer dalam skala nasional. Dan terakhir, ada juga para nasionalis yang menekankan kebutuhan akan jaminan hak-hak individu versus negara. Para nasionalis berjuang dalam PNI (versi partai politik dari gerakan PNI yang telah disebutkan sebelumnya, didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 dan yang bertujuan meraih kemerdekaan). PNI meraih banyak dukungan di Indonesia.
Pancasila Indonesia InvestmentsMakanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut pandang yang berbeda-beda ini. Pada Juni 1945, Soekarno menyampaikan pandangannya mengenai kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah lima prinsip yang akan menjadi dasar Negara Indonesia:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi penghalang persatuan masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis melalui Pancasila yaitu adalah tuntutan pendirian negara Islam oleh partai-partai Islam. Pada awalnya, Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari sembilan tokoh kemerdekaan yang merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk menambahkan tambahan pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik, tambahan pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai Piagam Jakarta) dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa menimbulkan kemarahan dari kelompok-kelompok non-Muslim atau Muslim tradisi (yang tidak terlalu religius). Penghapusannya kemudian menyebabkan ketidakpercayaan yang dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh komunitas Muslim yang lebih ortodoks.

Demokrasi Parlementer

Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950an ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini terlihat dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi pada tahun 1955 dan dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun sebelum Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama (Nahdatul Ulama telah memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan masing-masing 20,9% dan 18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan sehingga kabinet di masa parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai aliran ideologi. Dari 1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat, setiap kabinet gagal membuat perubahan signifikan untuk negara.
Selain perselisihan dalam elit politik Jakarta, ada masalah-masalah lain yang membahayakan persatuan Indonesia pada era 1950an. Gerakan militan Darul Islam, yang bertujuan mendirikan negara Islam menggunakan teknik perang gerilya untuk mencapai tujuannya, telah memenangkan wilayah-wilayah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini telah dimulai selama periode kolonial namun cepat merubah arahnya melawan pemerintahan di bawah Soekarno hingga penyerahannya pada tahun 1962. Gerakan-gerakan subversif lain yang berdampak adalah Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Keduanya dimulai pada akhir 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan tuntutan-tuntutan reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin oleh para perwira militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah ancaman besar. Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil menghancurkan gerakan-gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan anggota militer bentukan Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memproklamasikan Republik Maluku Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil dikalahkan oleh kekuatan militer Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata berlanjut hingga tahun 1963.

Demokrasi Terpimpin Soekarno

Soekarno menyadari bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, Soekarno memiliki lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang dengan perannya yang kecil dalam masalah-masalah politik hingga saat itu, mendukung perubahan orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah 'kelompok fungsional' yang berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode Demokrasi Terpimpin, perannya dalam politik akan menjadi lebih besar.
Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia membubarkan parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang setengah dari anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno. Soekarno juga menyadari bahaya bagi kedudukannya bila militer menjadi terlalu kuat. Karena itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk mengimbangi kekuatan militer. Baik militer maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya yang disebut 'Nasakom', sebuah akronim yang mencampurkan tiga buah ideologi yang paling penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1950an dan awal 1960an yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini hanya memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap komponen bermasalah dengan komponen lainnya. Semuanya tergantung pada kemampuan politik, kharisma dan status Soekarno untuk tetap menjaga kesatuan ketiga komponen ini.
Karakteristik lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun selanjutnya. Sejak tahun 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Beliau menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’ Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.

Kudeta Misterius Gerakan 30 September

Gejolak antara ketiga komponen Nasakom menguat. Pada 30 September 1965, menjadi jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu, enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno. Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang mengambil alih kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan para atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000 sampai 1 juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi pemuda militan dari Nahdlatul Ulama). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966. Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya. Setelah Orde Baru Suharto berakhir pada tahun 1998, masyarakat Indonesia mulai meragukan penjelasan resmi dari Pemerintah yang menyalahkan komunis namun bab sejarah ini tidak menerima perhatian besar dalam diskusi publik, kecuali sebuah laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2012 yang menyatakan pembantaian ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.
Kudeta ini dan peristiwa-peristiwa selanjutnya menyebabkan konsekuensi-konsekuensi politis dramatis untuk Soekarno. Indonesia berada di bawah hukum darurat militer yang membuat kekuasaan nyata berada di tangan Jenderal Suharto. Selama dua tahun selanjutnya, Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke pinggir. Hal ini menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada tahun tahun 1970.

Orde Baru Suharto: Pembangunan Indonesia di Bawah Pemerintahan Otoriter

Suharto (1921-2008), Presiden kedua Indonesia, meraih kekuasaan di tengah periode krisis darurat dan pertumpahan darah. Pendahulunya, Soekarno, telah menciptakan komposisi pemerintahan antagonistik yang sangat berbahaya dan terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis, komunis, dan agama. Pihak lain yang bersemangat untuk tetap memegang kekuatan politik adalah pihak militer, yang berhasil menjadi lebih berpengaruh dalam politik pada tahun 1950an waktu perlu menghancurkan sejumlah pemberontakan yang mengancam kesatuan Indonesia.
Keempat kelompok ini sangat saling mencurigai satu sama lainnya. Ketidakpercayaan ini kemudian memuncak pada tragedi di pertengahan 1960an ketika sekelompok perwira aliran kiri, karena pengaruh Partai Komunis Indonesia (menurut tuduhan pihak militer), melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh tujuh pimpinan utama militer yang mereka tuduh ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Suharto, seorang perwira tinggi yang mengambil alih kekuasaan militer selama masa kekacauan ini, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang dari segala kekacauan ini. Selama beberapa bulan kemudian, ratusan ribu pengikut aliran komunis maupun orang yang diduga pengikut aliran komunis dibantai di Sumatra, Jawa and Bali. Walaupun banyak fakta tetap tidak diketahui kebenarannya, jelas bahwa Jenderal Suharto telah muncul sebagai pemilik kekuasaan yang besar di tengah kekacauan di tahun 1960an.

Peralihan Kekuasaan: Orde Lama menjadi Orde Baru

Pada 11 Maret 1966, penduduk Indonesia masih dalam keadaan terguncang dan terjebak dalam kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa menandatangani sebuah dekrit yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan-tindakan demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai memperkuat peran politik militer di masyarakat Indonesia. Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno semakin lama semakin berkurang sehingga Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat sementara presiden pada tahun 1967 dan dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya era baru yang disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah diubah dengan drastis. Pemerintah baru berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno, dipulihkan sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat ekonomi dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Menteri-menteri tidak diizinkan membuat kebijakan-kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik. Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971. Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.

Pemerintahan yang Semakin Otoriter

Dari permulaan Orde Baru, angka-angka pertumbuhan makroekonomi sangat mengesankan (penjelasan lebih mendetail ada di bagian 'Keajaiban Orde Baru'). Namun, kebijkan-kebijakan ini juga menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat Indonesia karena pemerintah dianggap terlalu terfokus pada menarik investor asing. Sementara kesempatan-kesempatan investasi yang besar hanya diberikan kepada orang Indonesia yang biasanya merupakan perwira militer atau sekelompok kecil warga keturunan Tionghoa (yang merupakan kelompok minoritas di Indonesia tapi sempat mendominasi perekonomian). Muak dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ribuan orang melakukan demonstrasi di tahun 1974 ketika Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Jakarta. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan yang besar yang disebut 'Kerusuhan Malari'. Itu adalah pengalaman yang mengerikan bagi pemerintahan yang baru karena hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak bisa menguasai massa. Kuatir bahwa suatu hari mungkin akan ada perlawanan dari jutaan penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, kebijakan-kebijakan baru (yang lebih menekan) dilaksanakan oleh Pemerintah. Dua belas surat kabar ditutup dan para jurnalis ditahan tanpa persidangan. Hal ini mendorong media melakukan sensor sendiri. Semua ketidakpuasan yang diekspresikan di publik (seperti demonstrasi) segera ditekan. Sisi ekonomi dari perubahan kebijakan ini - dan yang mendapat banyak dukungan dari masyarakat Indonesia - adalah dimulainya usaha-usaha membatasi investasi asing dan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakuan khusus bagi para pengusaha pribumi.
Dalam politik nasional, Suharto berhasil semakin memperkuat posisinya di tahun 1970an. Produksi minyak domestik yang sedang dalam puncaknya memastikan bahwa jumlah pemasukan negara berlimpah. Pemasukan ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program-program pengentasan kemiskinan. Namun, di dunia internasional, citra Indonesia memburuk karena invasi Timor Timur. Setelah berhentinya masa penjajahan Portugal - dan deklarasi kemerdekaan Timor Timur pada 1975 - militer Indonesia dengan cepat menginvasi negara ini; sebuah invasi yang ditandai dengan kekerasan.
Di tahun 1984, semua organisasi sosial politik harus menyatakan Pancasila (lima prinsip pendirian Negara Indonesia yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1940an) sebagai satu-satunya ideologi mereka. Suharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat penekanan karena semua organisasi berada di bawah ancaman tuduhan melakukan tidakan-tindakan anti-Pancasila.
Bisa dikatakan bahwa pada tahun 1980an, Suharto berada di puncak kekuasaanya. Setiap pemilu dimenang secara muda. Terlebih lagi, dia berhasil membuat pihak militer menjadi tidak berkuasa. Sama dengan partai-partai politik dan pegawai negeri sipil, militer hanya bekerja untuk mengimplementasikan kebijakan Suharto. Namun depolitisasi masyarakat Indonesia ini memiliki satu efek samping yang penting. Ini menyebabkan kebangkitan kesadaran Islam, terutama di kalangan kaum muda. Karena arena politik adalah area tertutup, umat Muslim melihat Islam sebagai alternatif yang aman. Keberatan-keberatan mengenai pemerintah didiskusikan di mesjid-mesjid dan khotbah-khotbah karena terlalu berbahaya untuk berbicara dalam demonstrasi (yang akan segera dihentikan juga bila terjadi). Kebangkitan (revival) Islam menyebabkan perubahan kebijakan baru pada awal 1990an.

Perubahan Fokus ke Islam

Karena kekuatan-kekuatan Islam selalu kuat sepanjang sejarah Indonesia, para pemimpin umum Muslim dari organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki lebih banyak ruang untuk mengkritik (kebijakan) Suharto. Suharto (seorang muslim tradisionalis yang tidak terlalu religius) mulai melakukan pendekatan baru pada Islam di awal 1990an. Ini termasuk jiarah naik haji Suharto ke Mekkah di 1991, penempatan para perwira yang lebih 'ramah Islam' di pucuk pimpinan militer, dan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). ICMI didirikan lebih sebagai sebuah tempat menyuarakan masukan-masukan dari umat Muslim untuk kebijakan publik daripada sebuah organisasi politik berbasis massa. Keanggotaannya mencakup para pemimpin Islam yang kritis dan tidak terlibat dalam pemerintahan, dan menteri-menteri kabinet. Semua upaya yang dikombinasikan ini memang sedikit mengurangi kritikan dari komunitas Muslim.

Oposisi yang Semakin Menguat

Selama era 1990an, Pemerintah Orde Baru Suharto mulai kehilangan kontrol ketika masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif. Hal ini sebagian disebabkan karena kesuksesannya sendiri: perkembangan ekonomi yang mengesankan membuat lebih banyak orang Indonesia mendapat pendidikan dan kelompok yang terdidik ini merasa frustasi karena tidak memiliki pengaruh apa pun dalam merubah keadaan politik di negara ini. Sementara itu, para pengusaha pribumi frustasi karena tidak dapat kesempatan bisnis karena kesempatan-kesempatan bisnis yang besar hanya diberikan kepada keluarga dan teman-teman dekat Suharto (kroni-kroninya). Dari tahun 1993, demonstrasi-demonstrasi di jalan menjadi lebih sering terjadi dan bukan tanpa kesuksesan, misalnya sebuah lotere yang disponsori pemerintah terpaksa dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa dan kelompok-kelompok Muslim. Terlebih lagi, beberapa pejabat yang didukung pemerintah pusat dikalahkan saat pemilihan umum di provinsi-provinsi. Ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa rejim Suharto bukannya tanpa kelemahan.
Isu lain yang memiliki dampak negatif untuk posisi pemerintah adalah kegiatannya mencampuri urusan internal PDI. Megawati Soekarnoputri (puteri dari Soekarno) dipilih sebagai ketua umum PDI pada tahun 1993 menggantikan Suryadi. Namun, pemerintah tidak mengakui keputusan ini dan memerintahkan dilaksanakannya pemilihan ulang. Megawati, yang semakin kritis terhadap rejim Suharto, dilihat sebagai sebuah ancaman nyata karena status ayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah mendukung Suryadi di sebuah konggres lain tanpa mengundang partisipasi Megawati. Ini menghasilkan pemilihan ulang Suryadi sebagai Ketua Umum namun Megawati jelas menolak mengakui hasil dari konggres buatan ini. Hal ini kemudian menyebabkan perpecahan di dalam PDI dan juga bentrokan-bentrokan kekerasan di markas umumnya di Jakarta. Masyarakat pada umumnya merasa frustasi karena Suharto ikut campur dalam urusan internal PDI, terutama karena hal ini melibatkan puteri Sukarno.

Hancurnya Orde Baru Suharto

Legitimasi pemerintahan otoriter Suharto terutama berasal dari pembangunan ekonomi yang terjadi pada masa pemerintahannya. Dari keputusasaan di tahun 1960an, proses industrialisasi merubah Indonesia menjadi negara yang menjanjikan. Institusi-institusi internasional berpengaruh (seperti  Bank Dunia) menyatakan Indonesia sebagai 'Keajaiban Asia Timur' pada tahun 1990an. Istilah-istilah lain yang digunakan institusi-institusi internasional menggambarkan performa ekonomi Indonesia sebagai 'Macan Asia' dan 'High Performing Asian Economy' (HPAE). Tentu saja, komunitas internasional juga menyadari bahwa hak asasi manusia tidak selalu dihormati oleh pemerintah di negara ini. Namun, ironisnya, karakteristik Orde Baru yang supresif juga menjadi kunci dalam mengentaskan kemiskinan untuk jutaan orang karena hanya ada sedikit ruang untuk menentang pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Pada pertengahan 1960an, lebih dari 50% penduduk diklasifikasikan sebagai kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan, sementara di 1993 angka ini berkurang menjadi 13,5% dari jumlah total penduduk. Indikator-indikator sosial lain (seperti partisipasi di sekolah, angka kematian bayi, usia harapan hidup) menunjukkan hasil-hasil positif yang serupa.
Gaya pemerintahan Suharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk dukungan di bidang politik atau keuangan, ia membujuk para pengkritiknya dengan memberikan mereka posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang bagus. Namun, perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya. Selama dekade terakhir pemerintahan Suharto, anak-anak dan teman-teman dekatnya bisa membentuk sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Suharto. Meskipun banyak orang Indonesia yang frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme tingkat tinggi di lingkaran pemerintahan ini, Pemerintah selalu bisa merujuk pada pembangunan ekonomi yang mengesankan dan pada saat yang sama melakukan lip service kepada masyarakat dengan mengklaim bahwa ada usaha-usaha memberantas korupsi di negara ini. Namun, pilar ekonomi yang menjadi alat legitimasi ini menghilang ketika Krisis Finansial Asia melanda pada 1997-1998 (penjelasan lebih mendetail ada di bagian Krisis Finansial Asia). Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini yang kemudian menimbulkan efek bola salju. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan (tanpa Suharto) yang baru. Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhan-kerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh. Pada 21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto, menjadi presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tuntutan-tuntutan masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.

Reformasi

Setelah berada di bawah pemerintahan otoriter selama tiga puluh tahun lebih, politik Indonesia mengalami proses pembaruan untuk memberikan kekuatan lebih banyak kekuasaan dan politik kepada masyarakat Indonesia. Periode baru ini dikenal sebagai periode Reformasi. Tak hanya ditandai oleh perubahan struktural (seperti desentralisasi kekuasaan ke daerah dan pembatasan kekuasaan presiden), tetapi juga ditandai oleh kesinambungan (misalnya korupsi, kemiskinan dan pengelompokan modal di kalangan atas).

Kabinet Sekarang

Bagian ini menampilkan daftar anggota kabinet presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinamai Kabinet Indonesia Bersatu II yang diresmikan pada tanggal 22 Oktober 2009 dan akan memerintah sampai tahun 2014, saat pemilu baru akan diadakan. Presiden Yudhoyono tidak akan diizinkan untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden baru pada tahun 2014 karena konstitusi membatas kepresidenan sampai dua kali masa jabatan (masing-masing lima tahun).

1 Response to "Ikhtisar Struktur Politik Indonesia"

Berkomentarlah dengan Sopan Dan Seperlunya Saja
Jangan Lampirkan Link Aktif !

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel